1·9

14 5 0
                                    

SANDRA POV


"Besok malam, gue tunggu lo di lapangan basket, gue ajak lo main basket"

Dialog kemarin malam itu masih terngiang dalam benakku. Dan saat ini, aku menunggu ajakannya itu terealisasikan. Menunggu sendirian di tengah lapangan basket.

Namun hingga setengah jam kemudian, batang hidung Putra tak kunjung terlihat. Padahal aku sudah bertekad, jika rela dimarahi Mama karena berbohong demi bermain basket bersama Putra.

Apa ini ada sangkut pautnya dengan kejadian tadi pagi, saat Putra menghancurkan skateboard pemberian Aurora?

Aku juga masih ingat ungkapannya di hari ketika Putra undur diri sebagai ketua OSIS, "Skateboard gue patah dan itu berarti hidup gue juga bakal kayak skateboard gue, hancur". Jika disangkut-pautkan dengan kejadian tadi pagi, apa hidup Putra sedang tak baik-baik saja?.

Melihat skateboard baru yang terparkir di sampingku, membuat semua prasangka burukku tentang Putra runtuh seketika.

Ya, setelah berjuang menahan hasrat untuk menghambur uang, akhirnya aku berhasil membeli skateboard untuk Putra dengan uang yang kutabung. Kejadian hancurnya skateboard pemberian Aurora memancarkan sedikit harapan, bahwa skateboard pemberianku kemungkinan akan diterima.

Karena skateboard-nya tak lagi "cacat", hidupnya akan baik-baik saja, kan?.

Lima belas menit telah berlalu bersamaan dengan batinku yang terus bertalu. Mengapa Putra tak kunjung datang?. Hingga membuatku menjamur di lapangan basket ditemani suara bising nyamuk yang seakan mengejekku. Kesal menunggu, aku beranjak berdiri dan pergi meninggalkan lapangan basket. Menyusul Putra ke rumahnya.

***

Tetap tak ada jawaban dari rumah yang urung dinyalakan lampunya itu, membuat rumah gelap gulita layaknya rumah tak berpenghuni.

Aku sudah mengetuk pintu rumahnya tiga kali, namun pintu Sang Tuan Rumah tak kunjung terbuka. Apa Sang Pemilik sedang tak berada di rumah?.

Aku iseng mencoba membuka pintu rumahnya dan...eh, tak dikunci?. Kutilik ke dalam rumahnya, benar-benar masih gelap sebab lampunya belum dinyalakan. Aku berinisiatif menyalakan lampu ruang tamu. Sebuah pemandangan bagai kapal pecah langsung menyapa netraku. Pigura-pigura yang sudah tidak pada tempatnya, kursi-kursi terbalik, serta pecahan kaca yang berasal dari pigura yang bertebaran di mana-mana. Pemandangan serupa juga ku jumpai di ruang makan serta kamar-kamar. Hanga satu ruangan lagi yang belum ku periksa, dapur.

Orang-orang yang kucari sedang duduk sambil memeluk lututnya dan menenggelamkan kepalanya di antara kedua lututnya. Penampilannya tak kalah berantakan dengan seisi rumahnya, dengan rambut acak-acakan dan luka lebam di beberapa titik pada tubuhnya.

"Heh, Putra! Lo kenapa?!"

Yang ditanya tak menggubris, masih dengan posisi yang sama.

"Orang nanya tu dijawab!" seruku sambil mengguncangkan tubuhnya hingga akhirnya dia mau mengangkat kepalanya.

Wajahnya yang sembab ditambah matanya yang memerah itu langsung menatapku dengan tatapan yang tak bisa ku artikan. Membuatku sedikit merasa bersalah karena sudah membentaknya.

"Hari ini..jadi main basket kan?" pertanyaan bodoh memang.

Sudut bibir Putra tertarik walau sedikit diantara raut wajahnya yang sedang tak baik-baik saja, "Gak buat hari ini dan seterusnya"

"Maksud lo apa?"

Putra membisu, hanya tatapan kosong yang kutangkal dari netra gelapnya.

"Duduk di samping gue"

Memeluk Bintang JatuhWhere stories live. Discover now