2·1

15 5 0
                                    




Kita telah lama mati
Sejak tuts piano ini bergaung tak karuan
Sejak pecahan kaca bertebaran dimana-mana
Sejak tangisan kepedihan pertama kali buncah bersama ledakan kebencian
Aku sudah tahu kenyataan itu
Bodohnya, aku terlalu percaya pada keajaiban yang akan datang padaku
Padahal keajaiban adalah kehendak Sang Penguasa yang tak bisa ku kendalikan
Dan aku terlanjur menganggapnya keajaiban di kala tandus mendapatkan suburnya, kala surut mendapatkan pasangnya, kala bintang mendapatkan bulannya
Padahal bisa saja keajaiban itu diambil kembali oleh Sang Penguasa, bahwa semua memang akan pergi pada akhirnya
Dan itulah yang terjadi
Aku "lupa" kita telah lama mati

Tanganku bergerak cepat mematikan alat pemutar kaset yang tengah memperdengarkan suara seseorang yang bersenandung kecil diiringi gema tuts piano yang lembut. Suara Putra juga terdengar lembut disitu, meskipun kecil. Mungkin tangannya bergerak asal menekan tiap tuts piano, tapi hal itu tetap menghadirkan nada yang elok untuk memanjakan telinga. Nada yang ikut menyerukan suara hati Putra.

Aku tak tahu kapan rekaman itu dibuat. Yang jelas, aku menemukan kunci tak jauh dari tempat terakhir kali aku melihat Putra, tempat penuh bercak darah itu. Aku tak memikirkan apapun tentang kenapa kunci itu bisa ada di sana, benakku langsung tertuju pada satu kesimpulan: itu kunci rumah Putra. Maka dengan berbekal keyakinan bahwa itu kunci rumah Putra, aku meninggalkan tempat itu dan bergegas menuju rumah Putra. Benar saja, kunci itu mang bisa membuka pintu rumah Putra yang terkunci. Aku mengelilingi setiap sudut rumah Putra hingga aku menemukan sebuah ruangan dengan piano besar di pusat ruangan. Diatas piano itulah, aku juga menemukan kaset senandung curahan hati Putra seperti yang disajikan di awal.

Entah sejak kapan Putra piawai memainkan piano dan bernyanyi. Aku tertegun mendengar lantunannya yang menentramkan hati didukung dengan intonasi piano yang enak didengar, yang justru membuat mendung dalam hati semakin pekat.

Aku duduk pada kursi di hadapan piano, menekan asal tuts piano namun tetap menghasilkan nada yang pantas didengar. Jika aku tahu Putra juga piawai bermain piano dan dia belum pergi, mungkin akan ada waktu dimana kami sama-sama duduk di kursi yang cukup panjang ini, sama-sama menekan tuts piano untuk membentuk suatu nada yang indah berbalut harapan.

Lagi-lagi, air mata lara jatuh kembali dari pelupuk mata.

Dan semoga air mata itu adalah yang terakhir kali.

.
.
.
.
.

Memeluk Bintang JatuhWhere stories live. Discover now