1·11

9 4 0
                                    

"Karena Akasa Pandhu Putra, anak dari Bunda Arin, bukan seorang pembunuh"

Lewat penuturan Bunda, aku seakan bisa melihat catatan dosaku yang telah ditulis oleh Malaikat Atid dengan sangat panjang hingga berlembar-lembar. Aku membeku di tempat, seiring waktu juga ikut membeku, seakan menghentikan senyuman pedih Bunda yang terukir pada wajahnya.

Bagaimana bisa?.

"Bunda selalu mengikuti perkembangan dari sidang atas kasus Aurora. Dan tadi pagi Bunda dapat kabar dari pengacara, bahwa Ayah memaparkan sebuah bukti tak terbantahkan yang mengarah pada satu kesimpulan. Pelaku atas kasus ini, bahkan kasus pembunuhan berantai sebelumnya adalah kamu"

"Bahwa yang sebenarnya membunuh Aurora adalah kamu"

Untaian kata tersebut menjadi peluru tembus pandang yang menghantam ulu hatiku dengan telak. Aku menggeleng kencang, tak percaya dengan kenyataan ini. Berusaha kubendung air mataku agar tak dilihat oleh wanita yang telah "mengantarku" ke dunia ini.

"Bunda juga gak percaya, sama kayak kamu. Tapi Ayah menjelaskan, saat kabur Ayah sempat mencari bukti dulu. Ayah mendapatkan beberapa jejak yang luput kamu bersihkan, juga ponsel Aurora yang Ayah temukan di kamarmu"

Jadi Ayah sudah tiba di rumah bahkan sebelum aku menyadarinya?. Tempo lalu, saat Ayah datang dan melabrakku, bahkan Ayah sudah menggeledah kamarku tanpa sepengetahuanku?. Apa karena saat itu aku berada di dapur untuk menyiapkan air minum sebagai bekal bermain basket bersama Sandra, hingga tak menyadari ada hal yang mencurigakan?.

"Setelah sidang, para polisi langsung bersiap berangkat ke rumah untuk menangkapmu. Bunda pun ikut menyusul para polisi itu untuk memastikan agar kamu baik-baik saja. Namun sebelum Bunda sampai di rumah, polisi sudah mengabarkan jika pelaku tak ada di rumahnya. Padahal Bunda sudah terlanjur dalam perjalanan. Waktu Bunda mau pulang, Bunda malah papasan sama kamu disini" jelas Bunda.

Tubuhku sudah gemetar, apakah statusku sudah resmi menjadi seorang buronan?.

Aku mengepalkan tanganku yang berada di sisi kanan, berusaha menguatkan diri sendiri, "Bunda, Putra minta maaf... Maaf udah mengecewakan Bunda"

Aku tahu, kata "maaf" mungkin tak bisa menebus segunung dosaku. Bahkan tatapan Bunda yang memancarkan kesedihan pun seakan ikut menyetujui pernyataan segunung dosaku. Apa yang harus kulakukan untuk mengubah senyum Bunda agar bisa secerah mentari tadi pagi?. Apa sudah terlambat untuk mengubah semuanya seperti sedia kala?. Apa insan dengan jenis sepertiku ini tak bisa dimaafkan?.

"Tak ada yang perlu dimaafkan. Seburuk apapun dirimu, asal kamu bertobat, pintu maaf akan selalu terbuka lebar untukmu. Mungkin kamu berubah menjadi demikian karena keadaan dan kamu lelah karena hal itu. Kalo kamu lelah, peluk Bunda akan selalu terbuka untukmu"

Aku mundur selangkah, agak menjauhkan diri dari Bunda, "Aku seorang pembunuh, aku bukan anak Bunda. Seorang pembunuh gak pantas memeluk Bunda" 

Pertahananku telah bobol, segera kuseka air mataku yang mengalir tak diundang.

Tanpa aba-aba, Bunda langsung mendekapku dengan penuh kehangatan. Aku tak bisa menolak dekapan Bunda, toh juga aku telah lama merindukan dekapan wanita itu. Bahkan aku lupa kapan terakhir kali aku mendekap beliau.

Dalam dekapan Bunda, pertahananku runtuh seruntuh-runtuhnya. Aku menumpahkan segala kepedihan dan keluh kesah melalui air mata yang meluncur deras dalam dekapan Bunda. Bisa kurasakan pucuk kepalaku yang diusap halus oleh Bunda, setidaknya meminimalisir rasa sesak dalam dada.

"Mungkin ini pelukan terakhir buat kamu karena setelah ini Bunda akan tetap melaporkan keberadaanmu kepada polisi. Walaupun kamu anak Bunda, tapi keadilan tetap harus ditegakkan dan kejujuran harus dijunjung tinggi. Bagaimanapun juga, kamu harus menerima konsekuensi atas perbuatanmu telah membunuh Aurora. Jadi sebelum Bunda menghubungi polisi, Bunda beri kesempatan kamu buat kabur sejauh mungkin sampai Bunda gak bisa lihat langkah kakimu lagi" ucap Bunda setelah beliau melepas dekapannya.

Bunda mencengkeram pundakku dengan erat, menatapku dengan sorot mata yang menyiratkan sejuta makna dan sejuta harap. Aku bisa mengetahui dari sorot matanya, Bunda yang berusaha tabah melepaskanku dengan senyumannya yang menyenangkan. Bunda mengisyaratkan dengan dagunya agar aku segera pergi sebelum beliau menghubungi polisi.

Dengan berat hati, aku melangkahkan kakiku untuk kabur bersama air mata penuh luka yang kembali berderai. Meninggalkan Bunda dengan air mata yang menumpuk di pelupuk mata beliau. Meninggalkan gelato yang telah silih berganti pengunjung. Meninggalkan Sandra yang mungkin sedang sibuk mencariku.

Maafin gue, San.

***

SANDRA POV

Aku merebahkan diriku di kasur, membiarkan kasurku mengetahui bahwa tubuhku sedang lelah. Kubuka jendela kamarku, mengizinkan semilir angin malam masuk dan membiarkannya bermain diantara anak rambutku. Dari sini aku bisa melihat, rembulan yang berpijar di atas sana. Entah kenapa tak ada bintang yang biasanya setia menemani malam Sang Rembulan.

Soal "bintang yang hilang", mungkin penyebabnya karena tadi pagi Putra meninggalkanku tanpa pamit setelah berpelukan dengan seorang wanita yang tidak kuketahui identitasnya. Membuatku terpaksa naik bus seorang diri. Sejak saat itu Putra tak bisa dihubungi. Berkali-kali aku telpon dan spam chat tetap tak digubris. Sampai bintang malam ini pun hilang tak menemani bulan.

Situasi bosan membuat berbagai kemungkinan terus melesat dalam benakku. Salah satu kemungkinannya adalah, bagaimana jika aku mencoba melacak nomor ponselnya?. Soal bagaimana caranya tinggal cari tahu di internet saja. Segera kubangkit duduk dan mencari tahu cara melacak nomor ponsel Putra di internet.

Aku tersenyum senang setelah mendapatkan cara yang tepat dan terbukti berhasil. Tak perlu banyak cakap, aku segera bersiap menuju lokasi Putra saat ini. Sebuah dataran tinggi yang jauh dari pusat kota.

"Sandra! Mama boleh minta tolong gak? Belanja di minimarket kayak biasanya"

Aku dengan senang hati menyanggupi permintaan Mama. Pas sekali, aku bisa menggunakan alasan tersebut sebagai kamuflase agar aku bisa menemukan Putra.

Butuh waktu yang cukup lama untuk sampai di lokasi Putra. Aku menumpangi bus yang membawa pergi jiwaku yang resah dan raut wajahku yang gelisah. Entah kenapa sebuah firasat buruk terbayang dalam pikirku. Berusaha kutenangkan hatiku dengan menatap setiap terang lampu yang seakan-akan sedang berjalan.

Kurang lebih satu jam akhirnya aku tiba pada tempat yang dimaksud. Aku harus melewati sebuah perkampungan kecil, lalu kebun-kebun sayuran dan tembakau milik para warga. Setelah melewati kebun-kebun milik warga, sampailah aku pada sebuah tanah lapang yang menjadi pembatas antara kebun milik warga dan hutan belantara. Tepat di tengah tanah lapang, seseorang yang kucari sedari tadi tengah duduk bersila.

Ya, Putra.

Segera kudatangi lelaki itu dengan perasaan lega. Namun yang justru kudapati adalah sebuah keterkejutan tatkala aku menemukan Putra sedang mengiris nadinya dengan pisau yang dibawanya.

"Jangan ngelakuin hal bodoh sembarangan!" Aku dengan cepat merebut pisau yang tengah digenggam Putra, sebelum pisau tersebut benar-benar menembus nadinya.

Kondisi Putra saat itu benar-benar berantakan. Matanya memerah serta pada pipinya tercetak sungai air mata yang telah mengering, sebagai bukti jika ia lelah menangis. Rambutnya yang semrawut semakin menguatkan pernyataan bahwa kondisinya benar-benar seburuk itu.

"Jangan ganggu gue!" seruan serak khas orang sehabis nangis itu memecah kesunyian hutan belantara. Tangannya dengan cepat berusaha merebut kembali pisau yang telah kuambil alih.

"Lo tadi pagi bilang , "Gue gak mau lo pergi". Kalo lo gak mau gue pergi, jangan nyakitin diri lo sendiri"

Gerakan tangannya yang ingin merebut pisaunya dariku terhenti. Putra mulai mengatur kembali nafasnya yang menderu. Perlahan wajahnya berubah sendu dan pelupuk matanya dipenuhi oleh air mata yang sudah mengantri untuk dijatuhkan.

"Lo tunggu disini, gue mau beli obat merah buat ngobatin lo" ujarku. Lantas aku segera pergi ke perkampungan, berharap ada warung yang menjajakan obat merah.

Sayangnya, aku sama sekali tak pernah berpikir bahwa Putra akan mengambil seonggok batu yang cukup besar dan akan membenturkannya pada kepalanya sendiri.

.

.

.

.

.

Memeluk Bintang JatuhWhere stories live. Discover now