1·5

20 9 0
                                    






Semua orang yang ada di situ, termasuk aku yang baru tiba terkejut mendengar penuturan Pak Polisi.

"Apa bukti anak saya bisa ditahan?" kali ini Ayah Aurel yang bertanya dengan intonasi yang lebih teratur.

"Dengan bukti, senjata tajam berupa pisau yang diduga diambil dari dapur rumah, sidik jari di beberapa TKP, dan beberapa barang-barang korban yang sudah diamankan"

Dalam hati, Bunda Aurel berusaha menyangkal semua penuturan Pak Polisi. Tapi mendengar bukti berupa pisau yang diduga diambil dari rumah, sebagian pendirian Bunda Aurel perlahan runtuh karena beberapa hari ini pisau yang biasa ia gunakan memang raib tiba-tiba.

"A-apa salah anak saya?" air mata Bunda Aurel perlahan menelusuri pipinya, sudah tak bisa ditahan lagi.

Aurel yang berada tak jauh dari Bundanya, segera menghampiriku setelah menyadari keberadaanku.

"Sandra, lo masih percaya sama gue, kan?" Aurel menatapku dengan penuh harap.

Aku memilih membisu, masih menimbang apa harus menjawab "ya" atau "tidak".

"Sandra, jawab gue! Lo gak percaya kalo gue yang bunuh, kan?" Aurel mencengkram kedua lenganku dengan kencang, matanya semakin merah karena sedari tadi sudah mengeluarkan air mata.

Tapi mendengar penuturan bukti yang dipaparkan Pak Polisi, pendirianku sedikit goyah karena bukti yang ditemukan begitu kuat hingga aku tak bisa membantahnya. Tapi, Aurel adalah teman sekaligus sepupu yang baik...apa yang harus ku lakukan?.

"Saudari Aurel, kehadiran ananda sudah ditunggu di ruang pemeriksaan" Pak Polisi yang sejak tadi berbicara itu mendatangi Aurel dan menggiringnya menuju mobil yang sudah menunggu untuk ditumpangi.

Bunda Aurel memeluk tubuh Aurel, ibu dan anak itu mengucapkan salam perpisahan diiringi tangis kesedihan. Aku menatap punggung ibu dan anak yang sama-sama bergetar itu, tapi perilaku Aurel akhir-akhir ini juga ikut mendukung bukti atas kasusnya. Aurel yang sering pulang malam-malam adalah bukti perilakunya yang paling menonjol.

Mobil polisi yang membawa Aurel itu akhirnya beranjak angkat kaki dari depan rumah Aurel. Dan dari sini aku bisa melihat, Pak Indra alias Ayah Putra duduk di samping Putra.

***

Empat hari telah berlalu dan tidak ada titik terang atas kasus Aurel.

Yang ada justru sebuah titik gelap yang tak disangka-sangka. Aurel yang untuk sementara dipenjara dulu—khawatir jika ia tidak dipenjara ia akan kembali melakukan aksi pembunuhan—ditemukan raib dalam selnya. Kabar itu sampai di telinga keluargaku dan Aurel tepat saat makan malam. Bunda Aurel dibuat semaput oleh berita tersebut, khawatir kemana Aurel akan melangkahkan kaki, meskipun hati kecilnya berharap Aurel akan melangkahkan kakinya ke rumah.

Aku pun juga tak bisa membantu banyak. Aku hanya bisa membantu dengan menyelipkan doa saat sebelum tidur.

Ajaib, doa itu terkabul. Bersama fakta yang tak pernah kusangka, bagai bom yang jatuh dari langit Hiroshima dan Nagasaki.

Aku mengerjap-ngerjap mataku kala mendengar suara ketukan. Awalnya kukira itu berasal dari suara pintu yang diketuk Mama, ritual pagi setiap Mama membangunkanku. Tapi setelah kesadaranku sudah terkumpul, baru aku menyadari jika suara itu berasal dari jendela kamarku yang ketuk. Penasaran siapa yang mengetuk jendela, aku menyibak kordennya.

Dan aku menemukan Aurel dalam kondisi yang buruk. Raut wajahnya kusut, rambutnya berantakan, dan sorot matanya menunjukkan bahwa ia lelah.

"Aurel?!" aku terkejut dan segera membuka jendela kamarku. Seakan paham apa yang ku maksud, Aurel masuk melalui jendela kamarku dan duduk di tepi kasurku.

Memeluk Bintang JatuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang