1·7

21 7 0
                                    





Apa yang sedang terjadi?

"Siapa yang ngajarin kamu jadi seorang PEMBUNUH?!" suara menggelegar yang kuketahui berasal dari Pak Indra—Ayah Putra—itu menjawab semua tanda tanya ku tentang suara pecahan benda kaca tadi.

PLAK!

Dan aku yakin, tamparan itu menyasar pada wajah Putra.

Aku yang berada di balik pintu seketika lemas mendengar seruan Ayah Indra yang merujuk pada satu kesimpulan yang menjadi jawaban atas seluruh teka-teki dalam kisah ini. Putra-lah yang membunuh semua kambing hitam dalam lakon ini, dalang dari sebuah pertunjukan penuh darah ini.

Tapi apa alasan Putra melakukan hal sekejam itu?. Putra yang kukenal bukan seorang penjagal.

"Kamu tahu semalu apa Ayah saat ini? Ayah yang seorang polisi menyelidiki sebuah kasus pembunuhan yang pelakunya adalah anaknya sendiri, tapi Ayah malah salah mengasumsikan siapa pelakunya. Ayah malah masuk dalam perangkap anaknya sendiri. Kamu tahu, sebesar apa malu yang harus ditanggung oleh Ayahmu ini?!"

"Ditambah lagi Ayah harus menanggung malu saat kamu dikeluarkan dari sekolah. Kamu ketahuan membunuh hewan di belakang sekolah dan Pak Kepsek khawatir kamu juga akan membunuh warga sekolah. Maka Ayah membawamu ke psikolog, tapi kenapa kamu malah semakin menjadi-jadi?!"

Hening sejenak. Aku masih setia menunggu dengan saksama kelanjutan dari perdebatan ayah dan anak itu.

"Apakah malunya Ayah sebanding dengan semua luka yang Ayah torehkan padaku selama tujuh tahun?" akhirnya Putra angkat bicara.

Sekali lagi sebuah tamparan mendarat pada wajah Putra. Miris.

"Jaga bicaramu!"

"Apa yang harus dijaga jika itu adalah sebuah fakta? Kemana Ayah selama aku sedang dalam proses penyembuhan? Kata dokter, perhatian Ayah juga penting dalam proses penyembuhan. Tapi kemana semua perhatian Ayah yang dijanjikan dokter disaat pisau dalam saku ku sudah menunggu untuk menebas leher orang?"

Ayah Indra terdiam sejenak, mengingat-ingat jika dulu dokter juga pernah memberinya petuah agar memberikan perhatiannya pada Putra, tak apa jika perlahan-lahan. Karena seseorang yang ingin lepas dari "belenggu jiwa"nya juga butuh dukungan dari orang-orang terdekatnya, yang memegang peranan penting dalam proses penyembuhan jiwa.

"Aku hanya ingin, aku sama Ayah makan malam bareng, setidaknya buat malam ini" cicit Putra pelan. Dari luar aku bisa mendengar, isakannya yang terdengar samar.

Sunggu, aku sama sekali tak menyangka latar belakang kehidupan Putra yang sesuram ini. Putra dengan piawai menyembunyikan semua cerita pilunya dengan senyum menawannya setiap kali berangkat sekolah. Dia sangat pandai berakting.

"Aku udah berusaha buat jadi yang Ayah mau. Aku gak pernah bolos les, selalu jadi juara satu, perintah Ayah buat jadi ketos pun udah aku turutin. Apa balasan Ayah setelah semua itu berhasil aku lakuin? Gak ada. Paling gak, Ayah mau nemenin aku makan malam, setidaknya buat malam ini aja" ucap Putra disela isakannya.

Tanpa kusadari, air mataku memaksa untuk keluar dari teritorialnya. Meskipun aku telah membaca banyak novel bertemakan anak broken home, tapi menyaksikannya secara langsung lebih menyayat hati. Aku dengan cepat menghapus air mataku, namun yang ada justru aku semakin terisak.

Di dalam sana, terdengar suara berdering dari sebuah telepon genggam. Lalu suara berat Ayah Indra membalas sambungan itu. Terjadilah interaksi jarak jauh antara Ayah Indra dan kolega kerjanya, karena aku bisa mendengar kedua orang dewasa itu sedang membicarakan soal kasus—entah apa.

"Maaf, Ayah sibuk, lain kali aja"

Terdengar derap langkah kaki yang beranjak pergi, meninggalkan Putra yang terpaku dengan respon dari ayahnya. Lagi-lagi adalah janji palsu "lain kali" yang ia terima, serta untaian kata "maaf" yang sama sekali tak menyembuhkan luka.

Memeluk Bintang JatuhWhere stories live. Discover now