06🔹 Halu or Real?

Start from the beginning
                                    

"ABANG!"

Dengan cepat Sesha langsung melompat memeluk Bian, yang bereaksi bingung, ada apa dengan adiknya. Namun lelaki itu memilih membalas pelukan Sesha dengan tak kalah erat, menghalau dinginnya malam berhujan.

"A-abang kenapa lama", ujar Sesha.

"Kan jauh sayang. Apalagi hujannya lebat. Kamu kenapa pucat? Kamu sakit?", ujar Bian.

Sesha menggeleng dengan pandangan lesu. Jangan tanyakan lagi beban pikirannya yang semakin bertambah diumurnya yang masih muda akibat kejadian barusan.

"Nah kan kamu melamun lagi. Tadi juga kamu melamun terus, sampai-sampai suara klakson abang nggak kamu denger", ujar Bian menyentil pelan kening Sesha membuat gadis itu meringis.

"Abang udah berapa lama di sini?", tanya Sesha.

"Sekitar sepuluh menit. Karena kamu nggak kunjung masuk ya makanya abang samperin. Lihat nihh, baju abang udah basah. Ayok masuk", ujar Bian yang melepaskan jasnya, meletaknnya di kepala Sesha, kemudian menariknya cepat ke mobilnya.

Pintu tertutup. Bian langsung menyalakan penghangat mobil. Lelaki itu mengambil selimut di bangku belakang yang selalu ia siapkan di sana, lalu menyelimuti tubuh Sesha yang masih diam menatap ke depan.

Bian ikut menoleh, menatap ke arah pandangan adiknya, kemudian kembali menatap gadis itu.

"Kamu liatin apa sihh Ses dari tadi. Dari abang klakson sampe sekarang kamu liatin itu terus", ujar Bian.

Sesha menoleh pada Bian yang mulai menjalankan mobilnya pergi dari sana. Gadis itu memilin ujung baju seragamnya di balik selimut.

"Abang tadi udah liatkan? Sekelompok orang yang lewat gitu aja di bawah hujan, kan abang udah lama di sana tadi", unar Sesha.

"Sekelompok orang lewat di bawah guyuran hujan Ses?"

Sesha mengangguk.
"Aneh kamu. Nggak ada siapa-siapa kok tadi", ujar Bian.

"Ada lohh bang. Mereka pake baju khas kerajaan Mesir Kuno sambil ngangkat peti", ujar Sesha dengan serius.

Bukannya membalas dengan serius, Bian malahan tertawa keras, menganggap omongan Sesha adalah candaan semata.

"Abang! Sesha serius!", ujar Sesha dengan geram lalu membuang muka ke arah jendela.

Bian mengelus kepala Sesha, sambil sesekali menatap gadis itu sebelum kembali fokus ke depan.
"Kamu cuman capek sayang. Itu cuman halusinasi, apalagi kamu lagi ngantuk. Udah biasa menghalu sesuatu yang nggak nyata. Mending kamu bobo yaa", ujar Bian setelah itu menarik tangannya.

Dalam diam Sesha memejamkan mata, mengaminkan perkataan Bian jika itu hanyalah halusinasinya. Bian benar, ia cuman lelah dan mengantuk. Gadis itu mengeratkan selimutnya, sangat hangat dan nyaman, sebelum mimpi membawanya terbang memasuki dan menjelajahi alam bawah sadarnya. Sesha terlelap lamai.

Mobil hitam itupun semakin melaju kencang, meninggalkan halte bus. Termasuk sebuah bayangan transparan yang menatap kepergian kendaraan mewah itu. Bayangan itu melayang melewati rintik hujan, menatap jam besar di atas gereja yang terlihat menyeramkan saat lampu-lampu jalan dan sekejap padam. Sebelum ia hilang bersamaan angin kencang menusuk kulit.

***

"Di mana asisten saya"

Suara dingin dari balik kursi mewah, membuat senyum sehangat mentari di pagi hari ini milik Advent mengendur.

Dengan sigap lelaki itu meletakan sebuah surat tertutupi oleh amplop putih, lalu kembali menebar senyum. Advent tidak ingin mengotori paginya dengan aura tertekan. Sebisa mungkin lelaki itu menganggap ini adalah hal biasa, melewatinya dengan senyum lebih baik bukan? Apalagi ia memiliki bos dengan temperamen yang berubah-ubah.

Destiny Line [END]Where stories live. Discover now