Bentar-bentar, Katrin berusaha mencerna situasi ini. "Ini maksudnya apa jelek-jelekin Reihan?"

Tampang Garvin tampak cuek saja. "Mau menyadarkan lo in case lo masih ngarepin Reihan sampai sekarang. Mending lo move on. Reihan udah bahagia sama Kanya."

Bibir Katrin mengerucut sebal. Bisa-bisanya Garvin memberinya wejangan urusan cinta begini. Perkara Reihan, bisa dibilang Katrin sudah hampir lupa sama cowok itu, bahkan dia hampir lupa bagaimana sakitnya mengetahui Reihan sudah taken kemarin. Kalau bukan karena cowok di sebelahnya ini, Katrin pasti masih berkutat dengan perasaan bertepuk sebelah tangannya. Berhubung akhir-akhir ini Garvin yang banyak menginvasi isi kepala dan hatinya, pusat segala atensi Katrin beralih pada Garvin.

"Terus kalau gue udah move on lo mau apa?" pancing Katrin dengan sebelah alis terangkat.

Garvin menoleh ke arahnya sekilas. "Yang ada di pikiran lo sekarang. Itu jawabannya," balas Garvin enteng.

"Gue nggak mikir apa-apa."

"Masa?"

Katrin mengangguk.

"Coba pikirin kalau gitu."

"Kenapa sih aneh banget?" dengkus Katrin sebal sambil menyandarkan punggungnya ke kursi.

"Aneh gimana?"

"Dari kemarin-kemarin ketemu dan interaksi sama lo tuh kayak lagi mimpi."

"Itu konotasi kalimatnya positif?"

Katrin tak repot menyembunyikan decakannya. Dia menatap Garvin gusar. "Interogatif, Gar. Bingung banget gue ngadepin lo."

"Bagian mana yang bikin lo bingung, Katrin?"

"Bawa bunga, bilang suka, terus pergi gitu aja, nah hari ini balik lagi sok akrab sama gue."

Garvin agak terkejut, tapi kemudian dia menutupi ekspresinya itu dengan senyum miringnya yang khas. "Gue kira pembicaraan kemarin udah selesai."

"Menurut lo udah selesai?"

"Udah."

Katrin rasanya ingin mengguncang-guncang bahu Garvin sampai giginya rontok semua. Sudah selesai apanya?! Sampai saat ini Katrin nggak tahu poin kenapa Garvin menyatakan perasaannya karena cowok itu langsung pergi begitu saja.

"Tujuan gue kemarin cuma mau ngasih tau perasaan gue dan ngelurusin kesalahpahaman kita. Untuk selebihnya, itu lo yang handle."

"Gue yang handle gimana?" balas Katrin agak emosi. Matanya sudah memelotot sekarang.

"Perasaan lo ke gue dan gimana lo menyikapi perasaan gue kemarin, itu urusan lo. Kalau ada yang mau lo ungkapin, lo bisa kasih tau gue, kalau nggak ada, yaudah. Take your time."

Kali ini Katrin sukses melongo. Jadi, Garvin ingin dirinya berinisiatif secara mandiri untuk mengutarakan perasaannya? Berarti kalau Katrin nggak mau membahas itu duluan, hubungan mereka akan jalan di tempat?

Wah, kalau ruang di dalam mobil ini cukup luas, pasti Katrin sudah standing ovation sekarang. Luar biasa sekali Garvin ini. Entah memang terlahir terlalu jenius, idealis, atau memang egonya saja yang selangit, Katrin nggak mengerti. Bisa-bisanya Garvin tidak seperti laki-laki pada umumnya yang setelah menyatakan cinta secara otomatis langsung berharap perasaannya diterima dengan baik, bahkan mencari cara agar dirinya dapat diterima. Cowok itu justru menunggu dan menyerahkan semuanya pada Katrin.

Oke, kalau begini rencana Garvin. Katrin berusaha mengimbangi. Dia ingin melihat sejauh mana cowok itu akan menunggunya. Apakah dia ada usaha? Atau dia tetap pada pendiriannya bertingkah bahwa Katrin akan lebih dulu melempar dirinya dan berinisiatif mengubah status mereka lebih dari teman.

Karena KatrinaWhere stories live. Discover now