18. Tugas Pertama

612 91 0
                                    

Allerca kembali mengingat satu peraturan yang benar-benar sangat ogah dia lakukan, dan itu adalah bekerja sama dengan Ketua Dewan yang tidak lain adalah dengan Astrava Blanvedcho.

Karena seperti yang dia duga sebelumnya, Pangeran itu tidak bisa di ajak bekerja sama dengannya. Bukannya mengerjakan tugas pertama sebagai Ketua Dewan, Pangeran itu malah sedang asik membaca buku.

Allerca memelototi tugas yang menumpuk di meja kerjanya. Dan ada kalanya dia membuka-buka berkas itu untuk mengecek sebanyak apa tugasnya dalam satu berkas saja. Dan hasilnya,

SANGAT BANYAK!!!

Kenapa tugasnya sebanyak ini?!

"Kak, berkas ini berasal dari wakil Ketua sebelumnya?" Allerca bertanya tanpa menoleh ke arah Kakaknya.

"Ya." jawaban singkat itu mampu membuat amarah yang sudah di tahannya, seolah akan keluar satu per satu.

"Kenapa bisa dia malah meninggalkan tugas sebanyak ini?" Allerca bertanya entah kepada siapa dengan menekankan setiap kata-katanya, membuktikan jika dia masih berusaha untuk tidak mengeluarkan semua amarahnya dan melampiaskannya kepada anggota Dewan yang tengah berkumpul saat ini.

"Mungkin saja, dia mengira jika dia akan kembali menjadi wakil Ketua Dewan dan akan menyelesaikan tugasnya nanti." Arnold mengira-ngira.

Tapi tetap saja, kenapa bisa tugasku sebanyak ini? Allerca bertanya heran dan kembali membuka-buka semua berkas yang ada di mejanya.

Lalu dia menyadari sesuatu dan menatap sosok yang di duga juga menjadi dalang akan tugasnya yang sangat banyak. Dan seperti yang di duga, mejanya benar-benar bersih dari yang namanya sebuah tugas. Benar-benar tidak ada selembar kertas pun di atas meja itu.

"Ku rasa aku sudah mengerti." Allerca berkata sambil berdiri dari duduknya.

Seketika itu juga keheningan yang menyesakkan semakin parah saat Allerca berdiri dan mengatakan sesuatu seperti sebuah bom yang akan meledak.

Berjalan perlahan ke arah meja seseorang, Allerca lalu berkata,

"Yang Mulia saya tahu ini tidak sopan, tapi saya harus mengatakan hal ini kepada anda. Saya tidak akan pernah sanggup untuk mengerjakan semua tugas itu. Bagaimana bisa dengan seenaknya, anda malah mengoper tugas yang harus anda kerjakan sendiri kepada saya? Sebenarnya apa yang anda pikirkan? Dan juga, percaya atau tidak, kata-kata yang saya ucapkan bisa menjadi kenyataan. Jadi, anda tidak mau bukan jika saya berkata bahwa anda akan mengalami sakit perut atau kecelakaan mendadak? Saya harap anda dapat mengerti kata-kata saya ini. Dengan kata lain, An-da. Ha-rus. Me-nger-ja-kan. Tu-gas. An-da. Sen-di-ri." Kata-kata yang dapat di artikan sebagai sebuah ancaman dan tidak lupa dengan penekanan di akhir kalimatnya, mampu membuat semua orang di ruangan itu, tidak dapat berkata-kata.

"Dell-"

BRAKK!!

Sebelum Astra mampu melanjutkan kata-katanya, dia dikejutkan dengan gebrakan di mejanya.

"Yang. Mu-li-a." Allerca memperingatkan.

"Dellosa, setidaknya bisakah kau menghentikan ancaman adikmu ini?" jujur saja Astra sedikit ciut dengan tatapan Allerca yang cukup menyeramkan.

Seolah tersadar, Arnold langsung berusaha menghentikan apa yang di lakukan oleh adiknya itu.

"Allerca! Sebenarnya apa yang tengah kau lakukan?"

"Kak."

Arnold cukup ngeri dengan senyuman Allerca. Di matanya, bukannya terlihat cantik, adiknya terlihat menyeramkan dengan senyumannya itu.

When I Became the AntagonistWhere stories live. Discover now