11. Memasuki Academy

560 77 0
                                    

Pengumuman hasil dari tes di Academy akan diumumkan seminggu kemudian. Dan selama itu juga, Allerca merasakan kegelisahan dan beberapa kali terlihat tidak fokus.

Kakaknya yang kini tengah bersama dirinya, menghela napas yang sudah entah keberapa kalinya.

"Kau masih saja memikirkan hasil ujianmu?"

Allerca yang tengah melamun, tersentak mendengar pertanyaan itu.

"Tentu saja aku kepikiran. Bukankah kakak juga pernah berada di posisiku?" Allerca menatap buku di kedua tangannya. Karena tidak fokus, dia sampai lupa apa yang tertulis di buku itu.

"Tentu saja aku pernah berada di posisimu. Tapi tetap saja, aku tidak seberlebihan dirimu." Arnold menyesap tehnya.

"Memangnya apa juga yang kau gelisahkan sejak empat hari yang lalu itu? Jika kau cemas akan diterima atau tidak di ujian itu, aku sangat yakin bahwa kau akan lolos. Bahkan aku berani bertaruh untuk itu." ujar Arnold kepada Allerca.

Allerca menutup bukunya dan menjawab, "Jika masalah lolos atau tidaknya, tentu saja aku sangat yakin jika aku akan lolos ujian itu. Yang aku cemaskan adalah, apakah aku bisa mendapatkan peringkat pertama?"

Arnold mengerutkan keningnya mendengar kata "Peringkat pertama".

"Kau mengincar peringkat pertama?"

"Tentu saja!" Allerca berseru.

"Aku dapat yakin bahwa kau bisa berada di peringkat pertama." meskipun sedikit terkejut dengan seruan Allerca barusan, Arnold tetap menjawab dengan santai.

"Dari mana kakak tahu? Dan juga, kenapa kakak bisa seyakin itu?" Allerca mengerutkan keningnya.

"Tentu saja aku tahu. Pengetahuanmu sudah sangat cukup untuk dapat lolos di ujian tahap pertama. Lalu kau pun sekarang sudah dapat menggunakan senjata dan sihir kuno. Bahkan ujian di tahap kedua, sepertinya sangatlah biasa. Bukankah kau tahu akan hal itu?"

Apa yang diucapkan oleh kakaknya memang benar. Dia sekarang sudah dapat menggunakan senjata dan bahkan dapat menggunakan sihir kuno. Dan sama seperti yang di katakan kakaknya barusan, ujian tahap kedua di Academy terlihat sangat biasa saja. Bahkan sampai sekarang saja, dia masih bingung kenapa ujian itu sangatlah biasa.

"Bahkan yang lebih penting lagi, kau itu bisa membaca bahasa kuno. Aku saja tidak yakin, ada berapa orang yang dapat membaca bahasa kuno di Kerajaan ini." lagi-lagi Arnold mengatakan sebuah kebenaran.

Ya itu memang benar, tapi kan bahasa kuno yang dimaksud oleh kak Arnold itu, Bahasa Inggris. Tentu saja aku cukup mengerti dengan bahasa ini. Karena bahasa ini adalah bahasa umum di duniaku dulu. Tapi pria di depanku ini mana tahu itu. Allerca menghela napas dengan apa yang ada di pikirannya barusan.

"Kita lihat saja bagaimana hasilnya nanti." Allerca berucap.

Setelah berkata seperti itu, Arnold pun tidak mengatakan apa-apa lagi. Sama seperti apa yang di katakan Allerca barusan, dia sendiri akan menunggu hasilnya nanti. Walaupun di dalam hatinya, dia sangat yakin jika adiknya itu mampu lolos ujian itu dan menduduki peringkat pertama.

Yah..... kita lihat saja nanti.

Kembali Arnold mengucapkan kata itu di dalam hatinya.

***

"Ternyata apa yang aku khawatirkan memang sia-sia."

Allerca yang kini tengah menatap pantulan dirinya di cermin, bergumam dengan menyentuh seragam yang di kenakannya.

Seragam berwarna merah maroon dengan rok berwarna senada dengan sepatu berwarna coklat, kini tengah membalut tubuhnya.

Berdiri dari tempat duduknya, Allerca menuju ke arah jendela kamarnya dan memandang ke arah luar yang ramai dengan orang-orang yang mengenakan seragam yang sama dengannya.

When I Became the AntagonistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang