20. Penculikan

25 4 0
                                    

Sebuah ruangan gelap yang hanya tersisa sedikit cahaya terdapat seseorang tengah diikat pada kursi. Kebetulan orang itu baru saja ditangkap beberapa jam yang lalu. Benda-benda usang pun ikut menghiasi ruangan tersebut. Tidak ada yang menarik dari tempat itu, selain sepi dan seram.

Sosok gadis berhijab yang sejak tadi pingsan mulai membuka mata perlahan. Ia merasakan nyeri di pergelangan tangan dan kakinya akibat ikatan tali yang kuat. Kepala pening pun masih tersisa akibat obat bius yang berhasil membuatnya tak sadarkan diri.

Shafa menatap sekitar, sedikit bingung dengan ruangan yang tampak asing di matanya. Ia melihat kondisi tubuhnya yang mengenaskan. Gadis itu berusaha mengingat kejadian sebelum ia berada di tempat itu. Rafka ke mana? Kenapa dirinya bisa berada di tempat ini?

"Aku di mana? Siapa yang tega melakukan ini?" ucap Shafa meratapi nasibnya.

Suara tepukan tangan muncul di hadapannya, orang itu berjalan perlahan. Namun, Shafa tak bisa melihat wajah orang tersebut karena memakai topeng hitam. Ia mendekat dan mengelus pipi Shafa, membuat perempuan itu menghindar cepat.

"Kamu siapa? Jangan berani menyentuhku!" larang Shafa dengan tegas.

Lawan bicaranya itu berdecak. "Kamu nggak perlu tahu siapa aku," sahutnya.

"Aku nggak akan segan-segan laporin kamu ke polisi!" teriak Shafa tepat di depan wajah lelaki itu.

Orang bertopeng tersebut langsung menampar Shafa dengan keras setelah berani berteriak padanya. Ia tidak memandang apakah korbannya itu laki-laki atau perempuan. Siapa saja yang berani padanya, maka akan habis di tangan kekar itu.

"Kamu diam di sini! Bos sebentar lagi akan datang," ujarnya pada Shafa seraya mencengkeram kedua pipi gadis itu.

Shafa benar-benar tidak terima dengan perlakuannya yang sadis, sepertinya orang itu bukan sembarangan. Bahkan, sampai berani menyakiti perempuan. Apakah hati nuraninya telah hilang? Atau bahkan memang tidak punya? 

Satu jam kemudian, pintu kembali terbuka dan menampilkan dua orang bertopeng lagi tengah menghampiri Shafa. Mereka mendekat pada gadis itu. Sangat senang sekali karena melihat rencana itu berjalan dengan semestinya. Ia hanya tinggal menunggu dua orang lagi untuk melihat peperangan.

"Lepasin aku!" teriak Shafa karena merasa lelah sekaligus takut berada di tempat itu.

Lelaki itu tersenyum miring. "Sabar sedikit, kamu akan tahu siapa di balik penculikan ini," hardiknya pada cewek itu.

Shafa tidak mengerti dengan motif orang yang menculik dirinya. Selama ini ia tidak pernah merasa ada salah kepada seseorang. Dalam hatinya cukup menyesal karena tidak mengikuti ucapan Fadlan. Jika saja ia menuruti kaliamat kakaknya, ia tidak akan berada di sini.

***

Fadlan tengah mondar-mandir di teras rumahnya. Ia sangat khawatir pada Shafa yang belum pulang karena jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ia beberapa kali menelepon Rafka, tetapi sama sekali tidak ada jawaban. 

"Awas lo sampai melakukan sesuatu sama adik gue," gumam cowok itu dengan rahang mengeras.

Pemuda berkaos oblong putih itu sangat menyesal karena membiarkan Shafa pergi bersama orang yang jelas-jelas musuhnya. Kepercayaan yang berusaha ia bangun telah hancur pada Rafka. Ia sangat yakin bahwa lelaki itu tidak akan berubah.

Fadlan menunduk kala ponsel yang ia pegang bergetar, menandakan ada sebuat pesan masuk. Segera ia buka, lalu mengerutkan alis karena tertera nama Rafka. Emosi yang sejak tadi sudah hadir kini semakin bertambah saat isi pesan itu menunjukkan sebuah foto adiknya yang tengah diikat tali dalam keadaan memar di wajahnya.

"Lo benar-benar jahat, Raf!" Fadlan mengepalkan tangan, ia akan memberi perhitungan pada cowok itu.

Di lain sisi Rafka duduk di sebuah restoran dengan Gery dan Daniel sejak dua jam lalu. Mereka sengaja makan di luar yang memang sering dilakukan. Sebenarnya Vino biasanya ikut bergabung, tetapi cowok itu mengatakan bahwa ada urusan penting.

"Raf, Raf," panggil Gery dengan raut wajah yang seakan ada bahaya. "Ini Shafa, kan?" lanjutnya bertanya ketika ada nomor tak dikenal masuk dan tiba-tiba mengirim sebuah lokasi dan foto gadis yang mereka kenal.

Shafa mengambil alih ponsel itu. Ia terkejut dengan kondisi Shafa yang sangat mengkhawatirkan. Namun, sedikit bingung kenapa gadis itu berada di sana. Ia segera menyambar jaket dan kunci motor untuk menolong perempuan itu, ia akan merasa bersalah jika tidak bisa menyelamatkannya.

"Kita ikut," kata Daniel yang langsung mengikuti Rafka.

Tiga puluh menit kemudian, Rafka sudah sampai di lokasi yang dikirimkan oleh seseorang tadi. Ia melihat gedung kumuh iti dengan tatapan meringis, merasa tempatnya sangatlah buruk. Cowok itu berlari menuju tempat yang sudah ditunjukkan, ia menendang sebuah pintu hitam dengan kasar. Gerakannya melambat setelah melihat sosok gadis yang ia kenal diikat tak berdaya.

"Nah, ini bos kita sudah datang," kata salah satu pria bertopeng dengan diiringi tertawa.

Shafa mendongak sekaligus terkejut setelah melihat Rafka, sosok yang baru ia jelaskan beberapa hari lalu pada kakaknya. Ia menggeleng tak percaya dan berusaha tidak meyakinkan hati bahwa Rafka sejahat itu. Mulut terasa kelu untuk mengeluarkan suara.

"Bos, mau diapain ini cewek?" tanya pria itu lagi pada Rafka sehingga membuatnya kebingungan.

Selanjutnya, mereka teralihkan saat melihat pintu itu terbuka lagi dengan keras. Menampilkan sosok Fadlan dengan raut wajah yang sangat khawatir. Ia berlari menuju Shafa yang menatapnya dengan sendu. Tercetak jelas bahwa gadis itu sedang ketakutan. Netra cowok itu melirik pada Rafka yang juga ternyata ada di tempat itu. 

Orang yang dikatakan baik oleh Shafa, kini memulai rencana dengan sangat jahat. Fadlan tidak akan memaafkan cowok itu yang telah melukai sang adik tanpa rasa iba. Rahangnya mengeras, kesakitan yang Shafa rasakan tadi seakan ikut mengalir padanya.

"Lo benar-benar nggak punya hati, ya?"


Bersambung ...

______________

Rafka sejahat itu?

See you

Bondowoso, 04 Mei 2022






My Rafka [End]Where stories live. Discover now