15. Berubah

24 4 0
                                    

Shafa berjalan menuju halte yang tidak jauh dari kampusnya. Berhubung Keisya masih ada kepentingan di kampus, ia terpaksa menunggu bus sendirian. Kakaknya juga tidak bisa menjemput. Gadis itu duduk di halte sambil membaca buku religi favoritnya belakangan ini. 

Merasa kesal saat bukunya tiba-tiba diambil seseorang begitu saja. Shafa mendongak sekaligus terkejut ketika melihat orang yang ada di hadapannya. Sejak semalam gadis itu berdoa agar tidak dipertemukan lagi dengan orang itu. Namun, sialnya masih muncul di depan mata. Cowok tersebut adalah Leon, orang yang paling Shafa hindarkan.

Leon tersenyum miring menatap buku yang dipegang Shafa, lalu beralih menatap gadis itu dengan tatapan mengejek. Perempuan berhijab itu hanya diam, menunggu kalimat yang akan dikatakan oleh lelaki tersebut.

"Dih, bacanya buku kajian. Nggak salah baca buku?" ledeknya.

Shafa masih diam, ia tidak ingin tersulut emosi hanya gara-gara hal yang tidak penting. Istighfar diucapkan beberapa kali agar hatinya tenang. Gadis itu memilih berdiri, hendak pergi dari sana. Akan tetapi, Leon dengan cepat mencekal pergelangan tangan Shafa hingga membuat gadis cantik itu menepis tangan Leon secara kasar. 

"Oh, mau sok suci sekarang?" Leon mendekat pada Shafa, ia hendak meraih tangan itu lagi. Namun, secepat mungkin Shafa memundurkan langkahnya.

"Lo mau apa, sih?" tanya Shafa dengan raut wajah yang mulai kesal.

Dari ujung jalan tepatnya depan gerbang kampus, sosok laki-laki mengernyit melihat orang yang tidak asing di penglihatannya. Bisa ia lihat, perempuan itu tampak ketakutan. Mencoba mendekat untuk memastikan, kemudian lelaki itu mengeraskan rahangnya saat tahu siapa gadis tersebut.

Sampai di tempat itu, Rafka tanpa berperasaan menendang telak punggung laki-laki yang mengganggu Shafa. Membuat Shafa menoleh dengan terkejut, tidak menyangka Rafka akan menolongnya. 

Leon meringis kesakitan, ia berusaha berdiri untuk mengetahui siapa yang menghalangi aktivitasnya. Cowok itu menautkan alis ketika tahu bahwa teman sang adik yang telah menggagalkan. Bukankah Vino telah mengatakan bahwa Rafka sangat membenci Shafa? Namun, untuk apa datang dan seolah menolongnya? Sepertinya ia harus mencari tahu sosok teman Vino ini.

"Rafka, maukah bersenang-senang menggoda gadis itu?" tawar Leon menunjuk Shafa dengan seringaian layaknya iblis.

Rafka bepikir keras karena tawaran itu cukup sulit untuknya. Ia melihat Shafa yang tampak ketakutan membuat rasa iba muncul dalam hatinya. Jika Rafka tidak menyetujui tawaran itu, ia akan dianggap pengkhianat.

Sementara Shafa memundurkan langkah selagi mereka berbicara, ia mencoba memanfaatkan situasi itu untuk kabur dari hadapan Leon. Namun, usaha itu gagal akibat sebuah tangan yang menahannya.

"Mau kabur?" tanya Leon yang sengaja dilembutkan, tetapi berhasil membuat bulu kuduk Shafa meremang.

Shafa berbalik. "Tolong lepasin, kita nggak ada urusan."

"Hah? Apa benar ini Shafa? Bukannya suka banget diajak senang-senang sama gue?" balas Leon seraya tertawa meremehkan.

Shafa memberontak, tetapi semakin keras usahanya untuk kabur, tangannya semakin terasa perih. Ia melihat Leon dengan tatapan memohon yang belum pernah ia tunjukkan pada pemuda itu sebelumnya. Sementara Leon semakin dibuat senang dengan tingkah laku itu.

"Bang." Rafka mendekati keduanya, entah atas perintah siapa ia tidak ingin melihat Shafa disakiti. "Lepasin dia saja," kata lelaki itu.

"Bukankah ini permainanmu?" tanya Leon dengan ujung bibir tertarik.

"Hm, sepertinya sahabatku ini sudah berubah pikiran, Bang." Rafka menoleh ke sumber suara, ia sedikit terkejut melihat ketiga sahabatnya datang menghampiri.

Rafka mengembuskan napas. "Vin, lo tahu gue gimana," balasnya.

Vino melangkah mendekat dan menenggerkan lengannya di bahu Rafka dengan senyum mengembang, lalu menatap Shafa yang menunduk ketakutan. 

"Gue kira keberatan saat Bang Leon gangguin Shafa. Kalau begitu lanjutkan, Bang," titah Leon yang dengan sengaja sambil ingin melihat respons Rafka.

"Siap." Leon mengangkat telapak tangannya membentuk hormat dan dilanjutkan dengan tawa yang riang.

Rafka mengepalkan tangan kuat ketika melihat Leon maju dan mengulurkan tangan ke pipi Shafa. Hati Rafka seakan terluka saat melihat abang sahabatnya itu akan membuka hijab panjang yang dikenakan gadis tersebut. Namun, hal itu tidak berhasil karena suara teriakan dari ujung jalan. 

"Kak Fadlan," cicit Shafa melihat kakaknya yang berlari menuju tempat ia berdiri. 

Fadlan menarik Shafa setelah tiba di depan adiknya, ia mengambil alih lengan sang adik dari pegangan Leon. Tangannya terulur untuk mendekap perempuan itu, hatinya sakit melihat Shafa yang diperlakukan semena-mena oleh para pemuda itu. Fadlan mendongak dengan raut marah, netranya tertuju pertama kali pada Rafka yang hanya diam saja dari tadi.

Lelaki itu menyingkirkan Shafa sementara, ia maju dan melewati Leon yang sejak tadi menyiksa Shafa. Tangan kekar laki-laki itu langsung menarik kerah Rafka dengan kuat. Ia sudah yakin bahwa Shafa seperti ini karena rencana cowok itu.

"Gue udah pernah bilang, urusan lo sama gue bukan sama adik gue!" sergah Fadlan sambil mendorong Rafka hingga terjatuh.

"Heh! Lo apa-apaan?!" Vino menarik lengan Fadlan yang hendak memberikan pukulan pada sahabatnya.

"Sekali lagi lo buat adik gue menderita, gue pastiin lo nggak akan hidup tenang!" Fadlan berkata dengan penuh penekanan sebelum ia pergi dari tempat itu dan membawa Shafa pulang bersamanya.

Rafka berusaha berdiri dan melihat kepergian gadis itu. Ia tidak mengatakan apa pun, melainkan langsung pergi meninggalkan banyak pertanyaan di benak para sahabatnya dan Leon.

"Tumben nggak ngelawan?" gumam Vino yang merasa heran dengan tingkah Rafka.

***

Fadlan membawa Shafa menuju ruang tamu, ia menuntun sang adik untuk duduk di sofa. Begitu prihatin melihat keadaan perempuan itu saat ini. Ia berpikir, hanya karena masa lalunya Shafa menjadi korban. 

"Sekarang tenang, Kakak ada di sini," ucap Fadlan mengusap kepala Shafa yang dibalut hijab.

Shafa hanya mengangguk. Entah kenapa pikirannya tertuju pada Rafka yang didorong oleh kakaknya. Bahkan, ia juga dibuat terkejut melihat cowok itu yang seakan membela dirinya, tetapi tidak mampu melakukan sesuatu yang lebih. Ia yakin tadi bukan atas dasar perintah Rafka.

"Bukankah Kakak sudah bilang untuk menghindari cowok sialan itu?" Fadlan berucap dengan nada memperingati. 

"Kak, tadi bukan salah Kak Rafka," balas Shafa padanya.

Fadlan menyisir rambut ke belakang. "Kamu membelanya lagi? Dia jelas-jelas ada di sana dan menonton kamu diperlakukan seperti itu," tambah Fadlan dengan wajah kesal.

Kali ini Shafa bergeming, ia tidak ingin beradu pendapat dengan sang kakak. Ia akan membiarkan Fadlan tahu sendiri bagaimana perihal Rafka. Perempuan itu sadar bahwa lelaki yang sering menganggunya kini telah berubah lembut. Entah hanya perasaan Shafa saja atau hal lainnya.


Bersambung ...

______________

See you next part readers!


Bondowoso, 28 April 2022

My Rafka [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang