18. Orang Baik

26 4 0
                                    

Mobil hitam milik Fadlan sampai di depan gerbang kampus adiknya. Seperti biasa, ia mengantarkan Shafa saat ada waktu. Gadis berhijab abu-abu itu keluar dari mobil dan diikuti sang kakak yang juga keluar. Mereka berbicara sebentar, tetapi suara klakson motor mengganggunya.

Keduanya menoleh, Fadlan langsung mengeraskan rahang saat tahu bahwa itu adalah sahabat-sahabat Rafka. Apa yang akan dilakukannya lagi? Sementara Shafa sudah sangat gelisah, takut terjadi sesuatu lagi.

"Kakak mending langsung pulang aja," titah Shafa berantisipasi terlebih dahulu.

"Pulang? Lalu, membiarkan kamu diganggu sama mereka, iya?" tanya Fadlan tak habis pikir.

Shafa mengembuskan napas berat. "Kak--"

"Takut banget kita apa-apain, ya?" celoteh Gery membuat Vino tertawa keras.

Tak lama kemudian, sebuah mobil datang dari ujung jalan dan berhenti saat melihat sahabat-sahabatnya di depan gerbang. Rafka keluar dan menghampiri mereka, terkejut saat melihat Fadlan dan Shafa berada di sana. 

"Vin, langsung masuk aja," suruh Rafka mengintruksi Vino agar tidak berdebat di sana. "Ger, lo juga," katanya beralih pada Gery.

Vino mengangkat alis, lalu ia menutup kaca helm dan membawa motornya menuju tempat parkir, begitu pun dengan Gery. Rafka merasa tidak ada yang harus ia lakukan lagi di tempat itu sehingga berbalik untuk kembali pada mobilnya.

"Gue sampai dengar lo gangguin Shafa, lo habis di tangan gue."

Rafka berhenti melangkah saat mendengar kalimat yang seakan mengancam dirinya itu. Ia memejamkan mata untuk menahan emosi, tidak mungkin memunculkan amarahnya di depan Shafa. Apalagi sampai bertarung dengan Fadlan, pasti akan membuat Shafa kecewa. Rafka tidak membalas apa pun, ia langsung melanjutkan langkahnya dan masuk ke mobil.

"Seharusnya Kakak nggak perlu sampai ngomong gitu," ucap Shafa setelah mobil Rafka melewatinya. "Aku nggak enak, loh," imbuhnya.

"Kakak hanya nggak mau dia gangguin kamu kayak sebelumnya," balas Fadlan seraya mengusap puncak kepala sanga adik.

Setelah percakan singkat itu, Fadlan meninggalkan Shafa. Gadis itu memasuki pekarangan kampusnya. Sepanjang perjalanan menuju kelas, pikirannya tertuju pada Rafka. Ia tak bisa membayangkan bagaimana perasaan cowok itu, pasti tersinggung dengan kalimat sang kakak yang menurutnya sedikit berlebihan.

***

Shafa baru saja keluar dari ruangan dosen, ia baru saja selesai meletakkan beberapa tugas penelitian di sana. Gadis itu berbalik setelah menutup pintu, sedikit tersentak saat tak hampir bertabrakan dengan seseorang. Ia memundurkan langkah setelah tahu orang tersebut adalah Rafka.

"Shafa," sapa cowok itu. "Maaf, tadi nggak keliatan," imbuhnya.

Shafa tersenyum tipis. "Iya, Kak." 

Shafa berjalan melewati Fadlan. Namun, ia berhenti dan berbalik ketika mengingat ada suatu hal yang harus dibicarakan. Bersamaan dengan itu, Rafka juga melihatnya. Hal tersebut membuat jantung Shafa berdetak kencang.

"Kak, aku minta maaf atas kalimat Kak Fadlan tadi," ucap Shafa tanpa melihat Rafka yang menatapnya dengan intens.

Rafka berjalan mendekatinya. "Nggak papa, aku tahu kakakmu itu hanya khawatir."

Shafa cukup tertegun dengan cowok itu. Sepertinya ia harus memberitahu Fadlan bahwa cowok yang dinilai jahat olehnya adalah orang yang sangat baik. Bahkan, bisa dikatakan bahwa Rafka sering menolong dirinya di mana pun. Ia akan benar-benar kecewa jika Fadlan masih menyalahkan Rafka dalam keadaan apa pun.

"Kamu tidak perlu meminta maaf atas suatu hal yang bukan salah kamu," kata Rafka yang cukup membuat hati Shafa tersentuh.

Shafa mengangguk, ia tak berbicara apa pun hingga akhirnya pergi dari hadapan cowok itu. Rafka semakin merasa bersalah dengan sikap baik gadis itu. Ditambah ia merasakan sesuatu yang aneh di dalam hatinya belakangan ini. Terbesit dalam hati untuk memastikan apakah yang ia rasakan itu benar. Ia ingin melakukannya.

***

Shafa hendak kembali ke kamar setelah mengambir air di dapur untuk ia minum. Namun, ia mengerutkan alis saat melihat Fadlan berada di ruang tengah. Ia memgingat sesuatu dan sejak pulang kampus sudah merencanakan untuk memberitahu pada kakaknya tentang suatu hal. Gadis bergamis hitam itu berjalan menuju sang kakak yang sedang mengerjakan tugas.

"Kak," panggil Shafa seraya duduk di sampingnya. 

Fadlan menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar persegi panjang itu. "Ada yang perlu Kakak bantu?" tanyanya.

"Emm ... aku mau ngomong sesuatu sama Kakak."

Fadlan menyatukan alisnya heran. Biasanya Shafa langsung berbicara tanpa harus meminta seperti itu. Ia menutup laptop dan menghadap Shafa sepenuhnya. Cowok itu mempersilakan sang adik memulai pembicaraannya.

"Kak Rafka itu seburuk apa di mata Kakak, sih?" tanya Shafa padanya.

"Kok, nanya dia? Harus banget?" Pertanyaan balik Fadlan sudah cukup menjawab pertanyaan Shafa. Jelas sekali respons kakaknya yang sedikit emosi sudah menunjukkan bahwa Rafka sangat burut di pandangannya.

"Aku cuma mau bilang sama Kakak, Kak Rafka itu nggak seburuk yang Kakak kira, dia baik, bahkan selalu menolong aku." Shafa menceritakannya seraya mengingat hal-hal tentang Rafka yang berada di sampingnya.

Fadlan mengembuskan napas, ia mengusap wajahnya. "Kamu salah, Sayang. Dia hanya memanipulasi, percaya sama Kakak," balas Fadlan.

"Kak, nggak gitu. Kak Rafka nggak pernah jahat sama aku, Kakak lihat tadi pagi? Kak Rafka menyuruh temannya masuk agar tidak berantem sama Kakak." Gadis itu masih saja bersikeras menjelaskan, ia menceritakan apa yang dilihat sebenarnya. "Bisa Kakak berhenti membencinya?" imbuhnya.

Fadlan jadi berpikir sejenak. Ia mengingat kejadian tadi dan beberapa hari lalu di halte, di mana Rafka tak melawannya. Bahkan, tadi pagi cowok itu hanya menghiraukan kalimatnya. Ia tahu sosok Rafka, cowok yang keras kepala, mudah marah, dan suka menang sendiri. Bahkan Rafka bisa melakukan hal lebih sadis dari yang selama ini ia lihat. Namun, kenapa Rafka tampak berubah? Apakah hanya karena ada adiknya?

"Aku tahu Kakak orang baik, dan aku yakin Kakak bisa bersikap baik juga terhadap Kak Rafka," kata Shafa berharap kakaknya itu akan berhenti membenci Rafka.

Lelaki itu menatap Shafa dengan dalam, lalu mengangguk. "Baik, Kakak akan berusaha berpikir positif padanya. Kakak akan berusaha bersikap baik sesuai dengan permintaan kamu," sahutnya seraya tersenyum.

Fadlan bukan terpaksa mengucapkan kalimat itu, ia sudah berniat dari hatinya meskipun sedikit ragu. Ia berusaha percaya pada Rafka dan berusaha berhenti mengira bahwa Rafka lelaki yang jahat. Dari perubahan cowok itu, ia berusaha yakin bahwa Rafka sudah tidak seperti sebelumnya. 

"Terima kasih, Kak." Shafa tampak sangat senang, membuat hati kecil Fadlan curiga bahwa adiknya memiliki perasaan khusus untuk Rafka. Tidak mungkin sesenang ini hanya karena hal sepele tersebut?


Bersambung ...

_____________

Minal Aidzin Wal Faidzin readersku

See You


Bondowoso, 02 Mei 2022



My Rafka [End]Where stories live. Discover now