empat puluh sembilan

4.3K 273 19
                                    

Hari terus berlalu, pagi berganti siang, siang berganti malam, malam berganti pagi, begitulah siklusnya.

Terhitung sudah seminggu sejak mimpi itu datang Alena hanya berdiam dirumah, kadang memilih untuk menemani mamahnya yang sedang memasak, kadang juga duduk dihadapan kakaknya hanya untuk sekedar melihat wajahnya, kadang lagi duduk di ruang kerja papahnya untuk melihat papahnya bekerja. Hanya itu yang Alena lakukan, jika disekolah tidak jauh berbeda, ia hanya duduk sembari melihat wajah Tristan dan teman-temannya yang lain. Semuanya ia lakukan karena kekhawatiran yang melandanya, takut jika mimpinya benar-benar terjadi, takut jika mimpinya adalah pertanda kepergian seseorang yang ia sayang, atau malah mungkin sebagai tanda kepergiannya sendiri. Berbicara pun jarang, hanya saat ada yang mengajaknya berbicara Alena akan menanggapinya, sebisa mungkin juga bersikap biasa saja namun kadang tangisannya tidak bisa ditahan lagi. Dan mimpi itu tentu tidak hanya sekali, beberapa kali dalam seminggu ini mimpi yang berbeda dengan gambaran yang kurang lebih sama.

Kini tepat di tanggal sepuluh Agustus Alena berdiri di tempat ini. Hari yang ditunggu-tunggu oleh warga sekolah, hari ini juga yang menyebabkan Rafi sibuk mengurus ini dan itu. Akhirnya selesai, kakaknya itu tidak akan sibuk lagi sekarang. Namun, sampai hari ini juga Alena tidak mendengar kabar Bara. Kakaknya yang satu itu benar-benar menghilang bagai ditelan bumi. Setiap pagi Alena selalu meneleponnya menggunakan handphone Rafi, tapi setiap hari juga hasilnya selalu sama. Selalu mengunjungi kelasnya, menanyakan kepada teman-temannya tapi tetap saja hasilnya sama.

Khawatir tentu saja ada, namun saat mengingat bahwa yang dikhawatirkan sepertinya tidak menghawatirkannya Alena merasa percuma. Ia kecewa pada kakaknya itu, tidakkah kakaknya sadar bahwa semua orang mengkhawatirkannya? Tidakkah kakaknya tau seberapa gilanya dirinya dan orang rumah menunggunya pulang? Kata nanti yang kakaknya ucapkan itu kapan? Apakah nanti saat ia sudah tua? Apakah nanti saat lautan sudah surut? Apakah nanti saat bulan jatuh menggelinding lalu menghantam rumahnya? Itulah yang Alena tanyakan dalam pikirannya, kapan?

Suara ricuh memenuhi telinganya saat dua orang yang tidak Alena kenal menaiki panggung di depan sana, menyapa semua orang. Seperti dua orang itu yang akan memandu acara sore ini.

Dimulai dengan sambutan singkat dan kata pembuka dari kepala sekolah, lalu dilanjut dengan kak Rafi, lalu sekarang ada beberapa orang yang sudah berada di posisi masing-masing dengan benda ditangan masing-masing. Tak lama kemudian terdengar suara drum yang kemudian disusul alat musik lain. Suaranya terdengar keras namun bisa dinikmati.

Alena yang tidak mengerti lagunya pun hanya mengikuti sebisanya, berbeda dengannya yang hanya diam karena tidak mengerti, orang disebelahnya justru seperti orang gila yang membawa gitar ditangannya. Mengikuti setiap petikan, tangannya pun bergerak sesuai dengan tubuhnya yang meliuk menggila.

"Yan!"

"Apaan?"

"Berhenti njir! Lo diliatin orang!"

"Bodo amat, gue lagi hepi." Ryan tetap bergerak mengikuti lagu yang dibawakan band sekolah mereka, menghiraukan Grey yang menegurnya.

"Malu-maluin bangsat!"

Setelah penampilan dari band yang berhasil membuat suasana ramai kini giliran penampilan dari masing-masing kelas. Tidak seramai tadi, karena lagu yang dibawakan terkesan melow mendukung kegalauan yang menusuk sebagian besar penghuni sekolah.

"Mau gak?"

Alena menoleh, dilihatnya Rafi yang berdiri dengan piring kecil ditangannya. Di piring itu terdapat burger yang menggoda, rotinya gemuk, isinya terlihat banyak ada sayurnya, daging, telur, dan lainnya.

Tangannya bergerak mengambil salah satunya, lalu Rafi menariknya untuk duduk di kursi yang tak jauh dari tempat mereka menyaksikan penampilan teman-temannya.

AFIA or ALENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang