dua belas ✓

18.9K 1.3K 30
                                    

"Kak Alfin tolong!"

"Kak tolongin Afi."

"Sakit banget kak..."

"Sakit..."

"Sakit semuanya..."

"Afi nggak mau disini."

"Bawa Afi pergi kak..."

BRAKK

"Akh..."

"Kak Alfin tolongin Afi..."

"Kak..."

"AFI!" Alfin terbangun dari tidurnya, matanya bergerak panik menatap sekeliling. Keringat dingin bercucuran membasahi wajahnya, napasnya pun memburu seiring pergerakannya yang mulai menuruni ranjang.

Dengan nafas yang masih berhembus tidak teratur, Alfin melangkah gontai keluar kamar. Menaiki tangga dengan buru-buru, hingga sampai di depan pintu yang masih tertutup. Tangannya terulur membuka pintu itu, matanya kembali berkeliling melihat seluruh penjuru.

Melencos lagi hatinya untuk kesekian kalinya, terhitung sudah tiga hari Afi tidak ada kabar. Berarti sudah tiga hari juga Alfin mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mencari adiknya itu, tapi sepertinya semesta tidak mendukung, dan Tuhan tidak mengijinkan. Alfin tidak bisa menemukannya dimanapun Ia mencarinya.

Alfin tersenyum miris, mengutuk dirinya sendiri yang sampai sekarang masih berharap semuanya hanyalah mimpi buruk yang akan berakhir saat Ia terbangun. Setiap pagi dan setelah bangun, Alfin selalu menuju kamar Afi dengan buru-buru kemudian membuka pintunya, dan dihari yang ketiga ini Alfin kembali mendapat kenyataan bahwa Afi memang sudah tidak ada disana, kenyataan bahwa Afi sudah pergi meninggalkannya.

Berdecak kesal sebelum akhirnya Alfin berbalik untuk segera bersiap pergi ke sekolah. Dari atas Alfin melihat orang-orang yang mulai berkumpul di meja makan, bersiap melakukan rutinitas pagi keluarganya yang tak lain tak bukan adalah sarapan bersama. Yang Alfin heran sebenarnya adalah, bagaimana bisa keluarganya tenang-tenang saja setelah masalah besar kemarin terjadi, bisa-bisanya mereka tetap bersikap santai seperti tidak terjadi apa-apa.

Alfin benar-benar sudah lelah menghadapi keluarganya, sungguh tidak habis pikir. Hanya satu kata yang terlintas di otaknya saat ini, 'gila' mereka benar-benar sudah gila.

Setelah selesai mandi, Alfin keluar dari kamar mandi dengan handuk yang tersampir manis di pundaknya, melangkah menuju lemari untuk mengambil seragam, Alfin memakainya. Matanya menangkap kertas yang menempel disalah satu papan dekat meja belajarnya, seketika Ia teringat sesuatu. Buru-buru setelah selesai, Alfin beralih mengambil buku-buku yang perlu dibawa hari ini, hendak membuka tasnya untuk memasukan bukunya sebelum matanya mendapati sebuah kotak yang masih terbungkus rapi dengan kertas pink. Seketika tatapannya berubah, wajahnya nampak datar dengan rahangnya yang mengeras.

Drrttt drrttt

Dering telepon menginterupsinya, tanpa menunggu Alfin langsung memasukan bukunya lalu tangannya beralih meraih handphone yang bergetar di meja kecil samping meja belajarnya.

"Halo," katanya menyapa.

...

"Iya gue keluar."

...

Tut.

Seperti yang tadi dikatakan saat panggilan berlangsung, Alfin langsung melangkahkan kakinya keluar lalu menuruni tangga. Tanpa menghiraukan panggilan dari keluarganya di meja makan, Alfin tetap melanjutkan langkahnya keluar rumah.

"Lama bener sih lo!" kesal Gita, tangannya sudah berkacak seolah bersiap memarahi Alfin.

Alfin yang mendapat tatapan tajam Gita berdecak malas, "Buruan telat nih," akhirnya Ia memilih lebih dulu memasuki mobil Gita.

AFIA or ALENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang