sembilan ✓

17.2K 1.3K 29
                                    


"Ini bukan punya kamu kan Fi?"

Afi menggeleng tegas, matanya masih terus mengeluarkan air, "Bukan kak, itu bukan punya Afi, aku nggak kayak gitu."

plakk!

"Aku kecewa sama kamu Fi!"

Hancur, semakin hancur hatinya setelah menoleh dan mendapati Alia dengan tatapan kecewanya. Jauh lebih sakit melihat saudarinya ini tidak percaya padanya, walaupun pipinya juga terasa panas karena tamparan Alia yang tak main-main. "Kak-" belum sempat Afi menjelaskan, Alia sudah lebih dulu masuk ke dalam, meninggalkan Afi yang baru saja membuka mulutnya. Afi kembali mendongak, menatap Alfin yang masih diam mengamati testpack di tangannya, "Kak Alfin percaya kan?"

"Sekarang kamu pergi sendiri atau harus dipaksa?"

Suara datar dan dingin itu menginterupsi, pertanyaan yang sama sekali tidak mau Afi jawab. Afi tidak menginginkan semua itu, tidak mau memilih keduanya. Terlebih Afi yang tidak merasa melakukan kesalahan tentu tidak ingin pergi hanya karena hal seperti ini. Menggeleng keras, Afi mendekat pada papahnya, "Enggak pah! Aku nggak salah pah, itu bukan aku, aku nggak kayak gitu!" Afi tatap berusaha meyakinkan mereka, mengguncang lengan kekar papahnya, berharap Arga mendengar dan kembali mempertimbangkan keputusannya.

"Buktinya udah ada Fi! Aku kecewa sama kamu!"

Afi kembali menoleh, menatap Alfin dengan tatapan tak percaya, hatinya melencos mendengar perkataan Alfin, yang tadinya hancur kini sudah melebur. "Kak Alfin nggak percaya sama aku?" ulang Afi masih tidak percaya, air matanya mengalir semakin deras, "Kak Alfin percaya kan, kak Alfin tau kan aku nggak mungkin ngelakuin itu?" katanya, mendadak panik karena Alfin tak kunjung menjawab.

"Kak..." panggilnya lirih. Tidak mendengar jawaban, Afi justru terhenyak kala tangannya dengan kasar disentak oleh Alfin.

Mulutnya mengangga tak percaya, Alfin juga pergi meninggalkannya. Punggung tegap saudaranya itu menghilang di balik pintu.

"Pergi kamu, jangan nyusahin orang lain," ucapan terakhir sebelum pintu tertutup keluar dari mulut papahnya, lalu satu persatu yang berdiri di sana meninggalkan tempat mereka, masuk ke dalam rumah.

"PAH!! BUKA PINTUNYA!!" erangnya dengan tangan yang mengedor-gedor pintu besar dihadapannya, tubuhnya sudah meluruh, terduduk di depan pintu. Sungguh, mendengar Arga dan yang lainnya mengatakan itu Ia tidak terlalu memikirkannya, toh Ia sudah terbiasa dengan itu, tapi Alia? Alfin? mereka yang selama ini menghiburnya, menemaninya, menjaganya, selalu ada untuknya kini tidak percaya padanya? Bohong jika Afi katakan dia baik-baik saja.

Masih dengan isakannya, "Kak Alfin sama kak Lia nggak percaya sama aku?" tanyanya pada dirinya sendiri, sepersekian detik kemudian terdengar tawa keras keluar dari mulutnya, menertawakan keadaannya yang kini mirip seorang gelandangan yang mengemis belas kasihan di rumahnya sendiri.

***

Alfin menutup kasar pintu kamarnya, napasnya memburu tak beraturan. Matanya menelisik seluruh penjuru kamarnya, seolah mencari sesuatu untuk dikerjakan, karena kini pikirannya terfokus pada seorang Afi.

Setelah beberapa detik menelisik, Alfin memutuskan melangkah menuju lemari bajunya, berniat menyiapkan seragamnya untuk esok hari. Meletakannya di salah satu meja di ruangan itu, Alfin beralih menyiapkan buku-bukunya. Hanya berniat mengalihkan pikirannya, agar tidak mengingat kejadian beberapa puluh menit yang lalu.

"BUKA PINTUNYA!!"

Pergerakan tangannya terhenti kala mendengar suara itu, suara yang sangat Ia kenali, suara yang saat ini terdengar sangat menyakitkan.

AFIA or ALENAWhere stories live. Discover now