Tiga Puluh Satu - Live atau Tugas

170 32 47
                                    

Tiga Puluh Satu - Live atau Tugas



Mendengar bahwa Pasha akan datang ke rumah, Kejora meninggalkan tugas yang masih mengambang di laptop. Dengan cepat tangannya mengambil kaus serta celana panjang dan menarik handuk, lantas berlari masuk ke kamar mandi. Tujuh menit setelah itu, Kejora sudah berganti pakaian dan menggulung rambutnya menggunakan handuk.

Sembari mengeringkan rambut, Kejora melanjutkan tugasnya demi bisa mendapatkan nilai A. Perkataan Abah waktu itu memacu semangatnya. Walau tidak yakin akan mencapai target, setidaknya sudah mencoba. Toh, bukan nilai yang ingin dikejar, tetapi pelajaran. Abah menyekolahkannya sampai setinggi ini supaya dirinya memperoleh pengalaman dan wawasan yang luas.

Sayup-sayup Kejora mendengar ibunya menyambut seseorang di luar. Sontak ia melirik jam di laptopnya. Sudah di angka 19.35. Kejora yang terkesiap menutup layar tanpa menekan tombol shut down dulu. Kini ia beranjak ke meja rias, mengoleskan pelembab wajah, memulas sedikit lipcream di bibir. Sebentar lagi mau tidur, tidak perlu mekap yang berat.

Inget, Neng, pacar kamu itu artis. Sisi hati Kejora berteriak. Gadis itu kembali duduk di depan cermin. Kali ini ia menambahkan pensil alis, maskara, dan sedikit warna pada bagian kelopak mata. Kemudian menyisir rambut yang sudah setengah kering menggunakan jemari.

"Neng, ada Pasha di luar."

Kejora tersentak. Bahkan laki-laki itu datang dua puluh menit sebelum waktu yang telah ditetapkan. Artinya Pasha bukan tukang ngaret seperti dirinya.

Sebelum pergi, Kejora membungkus tubuhnya dengan jaket boomber. Berdiri di depan cermin sekali lagi untuk memastikan penampilannya. Ketika tangannya memegang kenop pintu, gadis itu memejamkan mata dan berdoa sebentar. Barulah ia berani mendorong pintu ke dalam.

Jarak antara kamarnya dengan ruang tamu tidak jauh. Begitu pintu terbuka, Kejora bisa melihat Pasha dan Sena sedang duduk bersama Abah. Kakinya sudah tak sabar ingin segera menghampiri dan bergabung dengan mereka bertiga.

"Tanpa kalian ngomong, teh, abah sudah tahu. Abah ini dulu pernah muda, pernah kasmaran. Sebelum sama ibunya Neng, abah banyak yang suka."

"Om, emang nggak masalah setelah ini rumah Om bakal penuh, terus banyak yang ngomongin Om, terus privasinya diusik, terus ada yang nggak suka sama Om?" Sena-lah yang mengajukan pertanyaan itu.

"Kan, itu risiko. Kalo ada yang gosip terus abah merasa nggak pernah melakukan itu, ya sudah diabaikan aja. Nanti reda sendiri. Kalo meladeni orang yang nggak suka sama kita, tuh, bakal capek. Abah yakin kami mampu, makanya dikasih jatah dapet calon mantu artis."

"Abaaaah." Kejora yang mendengar itu tersipu malu.

"Enam hari lagi saya udah balik ke Jakarta, Om. Kalau lagi nggak ada calling, saya usahakan mampir ke sini," kata Pasha.

"Oh, nggak bisa. Pasha Novandra, jadwal Anda udah penuh selama satu tahun ke depan," sela Sena dan langsung mendapat injakan sepatu dari Pasha. Sena tak mau kalah. Terus menguji kesabaran artisnya. "Eh, Om pasti setuju, nih. Kalo udah berani suka sama anak gadis orang harus giat bekerja. Bukannya begitu, Om?"

"Betul. Anak abah suka makan, jangan kehabisan uang terus nggak dikasih makan. Nanti Neng kurus, nggak imut lagi."

Kejora semakin malu mendengar ucapan abahnya. Ada-ada saja. Pacaran saja belum ada seminggu. Kenapa jadi Abah yang semangat sekarang?

Abah mengundurkan diri bergabung dengan Ambu yang sudah duduk di depan TV kesayangannya sejak Kejora belum keluar kamar. Sebelum pergi, Abah mengatakan jam kunjung hanya sampai pukul sepuluh malam.

"Tadi aku bilangnya jam delapan, A'. Kenapa udah datang sekarang?" Kejora membuka mulut setelah Abah tak terlihat.

"Pasha itu on time, ya. Jadi kalo lo ada janji sama dia, jangan pernah sebutin jam-nya." Bukan Pasha yang menjawab, melainkan Sena. Setelah itu mendapat sikutan dari Pasha.

"Yang ditanya itu gue bukan elo. Minggir sana! Biar Kejora yang duduk di sini!"

"Eh, eh, ini di rumah gadis, ya. Gue teriakin bapaknya, nih, biar lo nggak macem-macem."

Pasha mencibir. "Kayak lo nggak pernah muda aja."

"Lah, emang gue masih muda, sialan!"

"Ini kapan mulai live-nya?" Kejora menginterupsi. Tangannya sudah memegang ponsel dan membuka aplikasi Instagram.

"Ini mau langsung? Nggak ada briefing gitu?" tanya Sena.

"Oh, iya. Nanti aku buka dulu kayak biasanya, terus baru A' Pasha muncul. Gimana?"

"Tugas kamu udah selesai?"

Pertanyaan Pasha membuat Kejora menahan senyumnya. Ia terkekeh sebentar, kemudian mengibas tangannya. "Bisa diatur. Nanti dikerjain habis ini."

"Ya udah, bawa sini laptopnya."

"Eh?" Kejora mengerjap. "Mau buat apa? Kan, live-nya pake HP?"

"Aku bantu kerjain."

"Nggak usah. Beneran, kok, nanti dikerjain habis ini. Orang tenggatnya besok siang." Kejora menolak. Yang benar saja. Masa sampai tugas mau dikerjakan. Memalukan.

"Aku juga beneran mau bantuin."

Kejora ingin membalas, tetapi Sena sudah lebih dulu memotong.

"Ini mau live apa rebutan ngerjain tugas? Lagian, ya, Kejora, lo nyesel nolak bantuan Pasha. Dia, nih, lulusan cumlaude walaupun kuliah sambil main film. Sering juga jadi joki tugas artis lain. Udah, mending lo kasih tugasnya ke Pasha, mumpung dia jadi pengangguran."

"Tapi beneran, nggak usah. Enakan ngerjain sendiri." Kejora tetap menolaknya. Kalau dipikir-pikir, ia ingin mendapatkan nilai dari hasil kerja kerasnya.

Kejora hendak memulai siaran langsung. Namun, pesan dari grup WhatsApp yang terlihat di atas membuat matanya terbelalak. Seseorang mengirim tangkapan layar yang mengatakan kalau tugasnya harus dikumpulkan malam ini, paling lambat pukul sembilan.

"Bu Farah ngeselin!" Tanpa sadar Kejora menggerutu.

"Siapa Bu Farah?" tanya Pasha.

"Dosen yang ngampu matkul statistik. Katanya besok, tapi tiba-tiba harus ngumpulin malam ini. Nyebelin banget!"

Kejora mengentak-entak kedua kakinya. Mendengar itu, Sena jadi gemas. Ternyata Kejora sama keras kepalanya dengan Pasha. "Makanya jangan batu jadi orang. Masih mau nolak bantuan Pasha? Mau cepet selesai nggak? Jadi live malam ini nggak? Kalo nggak jadi, gue pulang, nih. Mau bobok."

Serentetan ucapan Sena memaksakan Kejora kembali ke kamar untuk mengambil laptop beserta bukunya. Sebenarnya malu, tapi tidak ada pilihan lain. Daripada terlambat lalu dianggap tidak mengumpulkan. Bu Farah memang meresahkan.

Gadis itu duduk di sofa dekat Pasha. Laptop dibuka, tetapi ia tidak menemukan file tugas yang seharusnya ada. Jantung Kejora bertalu-talu dan mulai berkeringat. Ke mana perginya?

Pasha bertanya, "Tadi udah di-save belum?"

"Itu dia. Kayaknya belum gara-gara mau mandi tadi." Kejora menepuk dahinya. "Ngerjain ulang, dong!"

"Ya udah sini." Pasha menggeser laptop Kejora agar memudahkan mengetik. Sembari memperhatikan laki-laki itu, Kejora menggigit bibirnya.

Sembilan hari lagi 💪

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Sembilan hari lagi 💪

Sky Full of Stars - [END] Where stories live. Discover now