Dua Puluh - Satu Jam Bersama Pak Dody

186 43 40
                                    

Dua Puluh - Satu Jam Bersama Pak Dody





"Gaji kamu bulan ini."

Langit menerima amplop berwarna cokelat dari Pak Dody. Ketika dibuka, harumnya menyerbak. Seluruh tetes keringat serta lelah terbang ke angkasa. Rencananya sebagian akan diberikan ke Mamah dan Senja, lalu sisanya untuk modal jalan-jalan bersama Kejora. Biasanya setiap gajian, Langit akan mengajak sahabatnya ke suatu tempat.

Usai mengucapkan terima kasih, Langit pamit pulang. Namun, niat pulang terpaksa tertunda sebab hujan turun dan lupa membawa jas hujan. Ingin meminjam tak bisa, Pak Dody hanya membawa satu. Beberapa temannya juga sudah pulang. Alhasil, Langit duduk diam di studio sampai hujan mereda.

"Saya temani kalau begitu biar kamu nggak keliatan jomlonya."

Langit terkekeh mendengar ucapan orang yang sudah memberikannya pekerjaan itu. Kini Langit dan Pak Dody duduk di tangga sembari melihat tetesan air dari bumi.

"Dulu istri saya nggak suka dengar suara hujan. Katanya bikin takut. Tapi setelah nikah sama saya yang menyukai hujan, lama-lama dia terbiasa."

Prolog yang keluar dari mulut Pak Dody mengundang rasa penasaran Langit. "Gimana cara Bapak bikin istri terbiasa dengan suara hujan?"

"Saya sering ajak dia duduk pas hujan turun. Kalau dia udah mulai ketakutan, saya pegang tangannya terus bilang 'nggak papa', saya nggak pernah bercerita yang menakutkan tentang hujan, dia juga saya larang untuk liat berita bencana alam yang disebabkan oleh hujan. Alhamdulillah, setahun mencoba, dia sudah biasa."

"Terus kenapa Bapak ngelakuin itu?"

Pak Dody kemudian menyelonjorkan kedua kakinya hingga terkena percikan air. Langit bingung, apa Pak Dody tidak merasa kedinginan?

"Saya nggak mau dia terkekang sama rasa takutnya. Saya yakin dia juga mau keluar, tapi nggak tau gimana caranya. Orang sekitarnya malah menuduhnya kurang iman. Terus saya pun sering ninggalin dia buat cari uang, nggak mungkin saya menemani dia selama musim hujan."

Langit memeluk kedua lututnya demi menghalau dingin yang mulai terasa.  "Kenapa Bapak suka hujan?"

"Karena hujan membawa banyak pelajaran."

Jawaban sederhana, tetapi sukses menggelitik hati Langit. Ia sampai memiringkan kepala agar wajah Pak Dody terlihat.

"Hujan tidak menyerah walau jatuh berkali-kali. Hujan yang jatuh setelah kemarau panjang, bukannya itu buah dari sebuah kesabaran? Hujan pun bisa 'marah' ketika kita tidak menjaga lingkungan ini. Hujan tahu bumi membutuhkannya.  Meski kita selalu mengeluh, hujan tetap datang. Bukankah seperti itu hidup kita?"

Langit mengangguk sebagai jawaban. Takjub dengan Pak Dody yang mendefinisikan hujan sampai segitunya.

"Coba kamu hirup udaranya."

Langit mengikuti instruksi itu, menghirup aroma khas saat hujan sedang turun.

"Kamu tahu kenapa ada orang yang suka dengan bau hujan?"

Spontak Langit menggeleng. "Kenapa emangnya, Pak?"

"Aroma hujan dapat menenangkan jiwa."

Kening Langit berkerut. Iyakah? Pantas saja banyak orang yang bilang bau hujan itu enak.

Bunyi ponselnya mengalihkan atensi Langit. Telepon dari Ambu membuat dahinya berlipat.

"Iya, Ambu?"

"Kamu, teh, masih kerja?"

"Nggak, kok, tapi mau pulang masih hujan. Kenapa emangnya?"

"Kalo gitu jangan langsung pulang, ya. Tolong jemput Kejora di tempat artis."

"Oh, iya, Ambu. Nanti kalau hujannya berhenti, Langit langsung ke sana."

Telepon diputus oleh Ambu. Masih memegang ponsel, Langit beralih menghubungi Kejora, memastikan gadis itu masih ada di lokasi syuting atau sudah pergi.

Begitu telepon tersambung, Langit bertanya, "Jora, kamu di mana?"

"Masih di kafe. Mau pulang tapi Dara nggak berani nerobos hujan."

"Kafe yang kemarin?"

"Iya."

"Ya udah, kamu tunggu di situ, ya. Nanti kalo hujannya berhenti, aku ke sana."

"Oke."

Langit menurunkan ponselnya. Memasukkan kembali ke saku jaket. Hujan berangsur sedang, tidak sederas sebelumnya. Namun, Langit memilih menunggu sampai gerimis.

"Kamu sudah punya pacar, ya?"

Pertanyaan itu mengejutkan Langit. "Bukan, Pak."

"Terus yang tadi kamu telepon itu siapa?"

"Temen." Langit menurunkan intonasi saat mengatakan itu.

"Oh, saya pikir dia itu pacar kamu. Dari nada bicaramu tadi, kamu keliatan perhatian banget sama dia."

Langit tersenyum tipis. Sudah biasa jika banyak orang yang salah paham dengan hubungannya dengan Kejora. "Saya sama dia udah berteman dari kecil, Pak. Tetanggaan pula. Dia juga anak satu-satunya, nggak heran kalau dia manja sama saya."

"Saya dulu sama istri juga sahabatan lama, hampir enam tahun seingat saya. Kami gonta-ganti pasangan, tapi ternyata Tuhan ternyata menyatukan kami dalam ikatan pernikahan."

Laki-laki itu cukup kaget dengan pengakuan bosnya. Matanya mengerjap. "Terus akhirnya kalian saling mencintai?"

"Awalnya tidak. Kami menikah karena ingin aja, terus nggak ribet PDKT karena kami udah saling kenal. Bagi saya yang penting itu bagaimana kita berkomitmen dengan pasangan. Kalau sudah ditahap menikah, modal cinta saja tidak cukup. Toh, nanti rasa cinta itu akan berubah, entah jadi rasa bosan  atau tumbuh komitmen."

"Artinya Bapak sama istri sepakat untuk bersama?"

"Tentu. Kalau tidak, saya tidak ada di sampingnya sebagai suami."

"Susah nggak?"

"Mau sama siapa aja, akan ketemu dengan namanya 'susah'." Pak Dody mengerlingkan mata. "Kenapa? Kamu ada niatan mau ngajak sahabatmu nikah?"

Langit spontan mengusap tengkuknya. Canggung menyergap tiba-tiba. Pipinya panas dan mungkin saja sudah merah. Ia menunduk, tak berani melakukan kontak mata dengan Pak Dody.

"Nggak usah malu sama saya. Pesan saya, sih, cuma satu, serahkan semuanya ke Tuhan. Kalau jodoh, pasti akan dimudahkan."

Setelah mengucapkan kalimat itu, Pak Dody menepuk bahu Langit pelan-pelan. Perlakuan itu sedikit membuat Langit tenang. Setidaknya ada orang yang mendukung di belakang.

 Setidaknya ada orang yang mendukung di belakang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Sampai di part 20 juga akhirnya :)

Berarti sisa 20 part lagi. Huaa ternyata masih panjang 😭

Sky Full of Stars - [END] Where stories live. Discover now