Tiga Puluh - Membuat Pengakuan

160 32 27
                                    

Tiga Puluh - Membuat Pengakuan



Selepas Kejora pergi, Pasha memikirkan cerita gadis itu. Otaknya langsung tertuju pada satu orang. Tidak salah lagi. Lagi pula siapa lagi yang selama ini membuat masalah selain perempuan itu? Namun, bertanya padanya sama saja bunuh diri. Pasha akan membuat dia mengakui sendiri.

Beruntung scene untuknya tinggal sedikit, ia bisa mempersiapkan rencana live bersama Kejora. Usai salat magrib, Pasha mengajak Sena duduk di balkon. Di meja bundar sudah ada minuman soda kesukaan sang manajer, juga wafer, kacang pilus, kacang polong, serta jajanan kecil lainnya yang menjadi favorit Sena. Bisa dikatakan, semua makanan dan minuman itu adalah sogokan dari Pasha untuk Sena.

"Tumben lo jajan, Sha?"

Tidak salah Sena bertanya seperti itu. Melihat Pasha jajan itu ibarat ingin melihat gerhana matahari cincin. Lama. Aktor yang satu ini bukan tipe orang yang doyan jajanan ringan seperti wafer dua ribuan.

"Serius lo beli ini di mana?" Sena menatap takjub serenteng kacang pilus. Sepertinya Pasha habis merampok warung.

"Gue minta tolong tim konsumsi buat cariin semuanya, khusus buat lo."

Sena memicing. Ia mulai mengendus bau-bau tidak sedap. "Lo mau ngapain gue?"

Ditanya seperti itu, Pasha malah tersenyum miring. "Gue mau buat sebuah pengakuan. Harusnya, sih, lo bisa dengerin nanti malem, tapi daripada lo kejang-kejang mendingan gue kasih tau duluan."

"To the point, sialan!" Sena mulai gusar.

Pasha meraih botol minuman berwarna merah. Hendak meletakkan ujung botol ke mulut. "Gue udah jadian sama Kejora."

"What the ...?" Sena yang semula duduk kini berdiri. Rahangnya mengeras. Mulutnya siap mengeluarkan umpatan.

"Pasha Novandra!" Sena mengguncang kedua bahu Pasha. Sangat kencang hingga minuman yang berada di tangan Pasha berhamburan ke bajunya. Sekarang giliran Pasha yang kesal. Ia mendorong Sena sampai jatuh terduduk di kursi.

"Nggak usah lebay!" Pasha mengibas kausnya yang terkena cipratan minuman.

"Lo, tuh, ya! Yang gue bilangin waktu itu nggak masuk ke otak lo apa?!"

"Masuk. Makanya gue buktiin omongan lo dengan jadian sama dia."

"Sialan!" Sena meraup wajahnya. "Lo nggak serius sama dia gitu?"

"Otak lo yang nggak serius! Ya, gue serius, lah."

"Halah, yang sama Denada kemarin lo bilang serius tapi cuma dua bulan, sialan!"

"Itu beda. Gue sama dia ngerasa nggak cocok aja. Lagian Denada sekarang udah kawin, Sen. Udah hijrah juga. Jangan diungkit."

Sena berdecih. "Terus lo mau LDR-an gitu sama dia? Yakin lo bisa?"

"Jakarta-Bandung apa susahnya, sih, Sen? Kita nggak hidup di zaman purba."

"Bandung-Jakarta nggak semudah yang lo pikir, Pasha Novandra!" Kali ini Sena mengacak rambutnya. Ia lelah, sungguh. Menghadapi Pasha yang keras kepala memang menguras tenaga. "Oke, bagian itu nggak masalah. Lo bener, kita nggak hidup di zaman purba. Cuma yang mau gue tanyain, lo mau duluin yang mana? Karier atau percintaan lo ini? Lo sadar nggak sekarang nama lo lagi naik, banyak yang suka sama lo."

"Gue jadi artis karena mau bongkar rahasia, Sen."

"Hah?" Mata Sena melebar sempurna. Untuk yang satu ini ia baru mendengar pertama kali dari mulut Pasha. "Rahasia apa? Kenapa lo harus masuk sini demi rahasia itu? Terus kalo rahasia itu udah kebongkar, lo mau mundur gitu?"

"Gue nggak mundur, tapi mungkin nggak segencar sekarang. Gue mau nemenin nyokap, Sen. Lo mau tau kenapa kemarin gue uring-uringan? Karena di sana, nyokap butuh gue tapi gue nggak ada. Lo paham, kan?"

Sena menganga. Sudah lama bekerja dengan Pasha, tapi dirinya tidak tahu sosok yang duduk di hadapannya sekarang. "Apa rahasia itu masih berkaitan sama Rosa?"

"Iya." Pasha menghela napas. "Gue nggak bisa ngasih tau sekarang ke lo, tapi lo mau bantuin gue nggak?"

Sisi manusia pada diri Sena seketika muncul ketika mendengar pertanyaan itu. Sepertinya sang aktor memang butuh bantuan. "Lo mau gue ngapain?"

"Lo bisa cari admin lambe yang bisa dipercaya? Gue rasa sekarang udah butuh mereka."

"Lo mau ngasih tau hubungan lo ke mereka?"

"Ya kali! Bunuh diri, dong, gue! Ini buat rahasia gue. Pokoknya lo cari, deh. Kalo udah ketemu, lo kasih ke gue."

Sena memutar bola matanya. Tangannya merogoh ponsel dari dalam saku celana. "Gue cari sekarang, nih."

"Lo emang bisa diandalin."

"Soal hubungan lo sama selebgram itu, gue angkat tangan, ya. Itu hidup lo. Tugas gue cuma ngurusin kerjaan lo. Kalo lo ngerasa nyaman, ya udah jalanin. Gue cuma bisa bantu doa."

Pasha menyesap minumannya. Satu orang sudah beres. Sekarang giliran rencana siaran langsung bersama Kejora. Sembari mencari nomor gadis itu, ia beranjak masuk ke kamar, meninggalkan Sena yang masih berkutat dengan ponselnya. Begitu sudah ketemu, Pasha menekan tombol dial.

"Nanti kamu mau live jam berapa?" tanya Pasha setelah telepon terhubung dan mengucapkan salam.

"Sekitar jam delapan, bisa lewat juga, sih, soalnya masih ngerjain tugas."

"Ya udah, habis salat aku langsung ke rumah kamu."

"Eh? Ke rumah? Lho, bukannya live room kayak biasanya itu, ya?"

Bibir Pasha membentuk lengkungan. "Aku ada di sini masa pake cara kayak gitu."

Senyap. Pasha mulai menerka-nerka ekspresi gadis itu.

"Astaga, tinggal satu jam lagi! Aku belum mandi, belum ngapa-ngapain."

Pasha menahan tawa mendengar ocehan Kejora yang panik. "Nanti kalo aku udah sampai sana, aku bantuin kerjain tugasnya."

"Emang bisa?"

"Bukannya jurusan kita sama? Ah, gampang soal itu."

Telepon kemudian diputus oleh Kejora karena katanya mau mandi. Pasha tersenyum. Kepalanya sudah berkenalan memikirkan reaksi para penggemar nanti saat mendengar pengakuannya.

 Kepalanya sudah berkenalan memikirkan reaksi para penggemar nanti saat mendengar pengakuannya

ओह! यह छवि हमारे सामग्री दिशानिर्देशों का पालन नहीं करती है। प्रकाशन जारी रखने के लिए, कृपया इसे हटा दें या कोई भिन्न छवि अपलोड करें।


Langit kretek-kretek hatinya :(

Sky Full of Stars - [END] जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें