Dua Puluh Satu - Rahasia yang Ingin Dibongkar

170 41 10
                                    

Dua Puluh Satu - Rahasia yang Ingin Dibongkar






Kantuk belum juga mereda, tapi panggilan dari sutradara tak bisa dijeda. Dengan mata berat serta wajah tak semangat, Pasha berangkat. Kata orang, semua pekerjaan punya risiko, dan ini yang dirasakan Pasha. Mau dia sakit, ngantuk, lapar, haus, bahkan belum mandi, kalau sudah mendapat panggilan syuting tidak bisa menolak apalagi ditunda semaunya. Telat beberapa menit saja sudah dihujat satu lokasi. Melanggar kontrak akan terkena penalti, pastinya uang yang dikeluarkan tidak sedikit.

"Fanya belum dateng, ya?" tanya seorang perias yang kini sedang membubuhkan bedak ke pipi Pasha.

"Dia emang sering telat. Aku rada males sama dia. Mana orangnya ribet," sahut perias yang lain.

"Ribet tapi rajin nggak papa. Ini? Udah ribet, tukang telat pula."

Benar, 'kan? Proses syuting akan terhambat ketika ada salah satu artis yang terlambat. Terlebih jika artis tersebut mendapat scene penting yang butuh persiapan panjang. Kalau terlambat, alamat ngaret.

Pasha tidak suka menunggu dan tidak akan membuat orang menunggu. Terbukti di film mana pun, ia tidak pernah terlambat datang ke lokasi. Waktu adalah uang dan ia tak mau menghamburkannya. Ia selalu mengusahakan datang sepuluh menit dari waktu yang sudah ditentukan.

Akan tetapi, keterlambatan itu sedikit memberikan manfaat bagi Pasha yang datang lebih awal. Pasha bisa menggunakan waktunya untuk tidur sejenak. Seperti yang ia lakukan sekarang ini. Matanya terpejam saat perias masih memoles wajahnya dengan berbagai mekap.

"Itu cuma merem apa tidur beneran?"

Pasha belum terlelap sepenuhnya hingga bisa menangkap suara Kevin dari dekat. Lelaki itu enggan membuka mata. Namun, detik selanjutnya, ia merasakan dingin di wajah. Mata Pasha terbuka sempurna.

"Gue ngantuk! Ngapain, sih, gangguin gue?"

"Gantian, dong. Gue juga mau duduk di sini."

"Itu masih ada kursi kosong. Nggak usah ganggu gue!"

Pasha memejamkan matanya lagi, tak mau beranjak. Enak saja!

Belum sempat tidur, Pasha sudah dipanggil kru untuk siap di set. Mau tidak mau, ia berangkat ke sana dengan badan lesu. Wajar, sekarang waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Kata Ario, masih ada dua scene penting yang belum diambil.

Syuting baru selesai pada pukul satu malam. Lampu-lampu di sekitar set dimatikan. Para kru mulai membersihkan properti. Salah satu tim konsumsi datang membawa sepiring makanan. Warnanya putih agak kecokelatan. Saat Pasha menyentuhnya, teksturnya keras dan berminyak.

"Lo tau nggak namanya apa?" tanya Kevin sembari mengunyah makanan itu. Karena Pasha baru pertama kali melihat ini, tentu saja ia menggelengkan kepalanya.

"Ini namanya cireng, Sha."

Kening Pasha berkerut setelah itu. "Bedanya sama makanan kemarin apa lagi?"

"Cilok sama cilor maksudnya? Ya beda walau bahan dasarnya sama. Lo tau nggak bahan dasarnya apa?"

Sebagai jawaban Pasha menggeleng.

"Bahan dasarnya tuh aci, Sha, atau tepung tapioka. Kalo cireng ini cara bikinnya tepung tapioka campur tepung terigu terus diuleni pake air panas sampai kalis, habis itu dipotong-potong, dimasukin isi, terus goreng sampai mateng."

Mendengar Kevin bicara bisa mendapatkan insight baru. Pasha takjub karena lawan mainnya itu tahu segalanya. "Lo bisa tahu dari mana?"

Kevin menyeringai. "Kenapa? Lo baru tau, ya? Masa kecil lo ke mana aja, sih?"

Pasha mendengkus. Batal mengagumi laki-laki itu.

"Dulu Almarhum mamaku pernah jualan makanan begini," kata Kevin selanjutnya. "Lo beruntung, Sha, udah sultan dari lahir, makanya nggak tau kalo ada makanan kayak gini."

Kemudian Pasha merasa kikuk. "Ah, nggak juga, kok. Gue nggak seberuntung yang lo kira."

Hanya sampai di situ, Pasha tidak sampai hati mengatakan hal gila tentang keluarganya.

"Gue paham, kok. Ya kita ini terlihat beruntung karena udah bisa ada di sini, tapi orang lain, kan, hanya liat luarnya. Nggak tau kalo di belakang kita jatuh bangun."

Pasha mengangguk setuju. Selain tahu segalanya, Kevin pun terlihat lebih pintar daripada dirinya. Memang tidak salah jika Pasha menganggap Kevin seorang rival. Ngomong-ngomong, sudah lama ia tidak menggaungkan kata itu di otaknya. Setelah kenal Kevin, rasanya tidak pantas jika dirinya bersaing dengan laki-laki itu.

"Gue boleh nanya nggak?" Pasha bersuara setelah beberapa menit terdiam.

"Tanya aja selagi pertanyaan lo nggak bikin gue mikir tujuh hari tujuh malam."

Pasha menggigit ujung cireng hingga suwiran ayam yang menjadi isinya menyembul. "Lo kenapa jadi artis?"

"Kalo gue jawab karena keberuntungan, lo nganggep gue sombong nggak?" Kevin justru balik bertanya. Tangannya mencomot cireng yang kelima.

Pasha memutar bola matanya. "Tergantung."

"Tergantungnya lo meragukan, ya." Kevin terkekeh. "Tapi bener gue nganggep masuk ke sini karena keberuntungan. Gue yang dulu dengan gue yang sekarang itu beda jauh. Dulu gue ngamen dari rumah ke rumah, sekarang gue bisa nyanyi di acara besar dan ketemu dengan orang-orang besar. Bahkan gue bisa jadi aktor pun nggak pernah kepikiran. Gue cuma ngikutin kaki gue ke mana arahnya."

"Dan lo beruntung kaki lo nggak ngajak ke arah yang salah," imbuh Pasha.

"Kalo lo sendiri kenapa jadi artis? Sorry, gue masih nggak nyangka aja lo nggak ngikutin jejak bokap lo."

Pasha menarik selembar tisu dari tempatnya. Kemudian mengusap lembaran tisu itu ke tangannya yang berminyak. "Gue mau membongkar rahasia."

Dahi Kevin membentuk lipatan setelah mendengar jawaban Pasha. "Kayak agen-agen aja. Terus kalo udah kebongkar, lo mau berhenti gitu?"

"Ya nggak." Pasha membuang mukanya ke arah lain. "Gue harus menghidupi nyokap gue setelah rahasia itu kebongkar."

Kevin masih berusaha untuk mencerna perkataan lawan mainnya itu. Sepertinya masalah Pasha lebih rumit daripada dirinya. "Gue jadi penasaran rahasia apa yang mau lo bongkar."

"Lo liat aja nanti."

Day 21

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.


Day 21. Sudah mulai oleng?

Kevin penasaran tuh rahasia apa sih yang mau dibongkar sampai Pasha masuk ke dunia entertainment. Kalo udah waktunya tahu, gimana perasaan Kevin?

Ada yang suka sama cireng nggak? Atau malah ada yang bisa bikinnya?

Sky Full of Stars - [END] Donde viven las historias. Descúbrelo ahora