Chapter 25: Masa lalu Alex

33 5 2
                                    

Lebih daripada yang sudah-sudah, suara Dara meninggi membuat Alex tersentak kaget. Pria itu tak menyangka Dara akan mengatakan sesuatu dengan nada setinggi itu, bahkan walaupun dia telah tahu kalau Dara adalah gadis yang sangat mudah emosi.

Menyembunyikan keterkejutannya tersebut, Alex berdehem dan menatap Dara lamat-lamat sebelum akhirnya berkata, "Saya mengerti itu semua, tapi kamu seharusnya mengatakan semuanya lebih awal supaya tidak ada kesalahpahaman."

"Ya kamu juga gak nanya dulu."

Dara dan Alex sama-sama tak mau mengalah dalam hal ini. Padahal mereka memiliki peranan yang sama dalam menciptakan kesalahpahaman ini. Dara yang tidak menceritakan apapun pada Alex, dan Alex yang tidak mau bertanya tentang apapun pada Dara dan hanya mengandalkan pendapat pribadinya. Jika seperti ini terus menerus maka mereka akan berdebat di bawah terik sinar matahari sampai gosong.

"Sebenarnya saya datang kesini buat ngejelasin masalah yang ada supaya kita gak salah paham karena kita kan tim, tapi sepertinya bukannya berbaikan kita malah bertengkar. Maaf sebelumnya," kata Dara. Kelembutan dalam suaranya mengundang rasa simpati Alex begitu saja dan dia pun kini merasa tidak enak hati.

"Maaf juga. Kamu sudah bolos sekolah hanya demi menuntaskan masalah ini, tapi saya malah marah-marah."

Kedua anak manusia itu mendesah lelah bersamaan. Keduanya mulai menyadari kesalahan masing-masing pada akhirnya, tapi rasa gengsi yang masih terlalu tinggi menghalangi mereka untuk mengungkapkannya.

"Kamu sudah makan?" tanya Alex tiba-tiba. "Kalau belum mari makan dulu. Ada restoran baru buka di sekitar sini."

"Boleh deh, belum makan emang saya di sekolah tadi," kata Dara sambil mengusap-usap perutnya yang rata.

"Yasudah ayo."

Dara dan Alex kemudian berjalan beriringan keluar dari pelataran kantor polisi dan menuju ke restoran yang Alex maksud lewat trotoar jalan. Restoran itu ada diseberang jalan sehingga mereka harus melewati jalan yang ramai akan kendaraan.

Begitu tiba, seorang pelayan langsung menyambut mereka dan menanyakan pesanan keduanya. Dara yang baru pertama kali ke restoran tersebut kebingungan memilih makanan dan akhirnya mengikuti Alex. Apa yang Alex pesan itu jugalah yang ia pesan.

"Kamu sudah pernah kesini sebelumnya?" tanya Dara.

"Sudah. Kemarin." Sewaktu teman-teman Alex menguasai kantin, Alex terpaksa melarikan diri ke restoran ini.

"Kalau gitu makanan di sini pasti enakkan?" tanya Dara dengan wajah yang begitu antusias.

"Iya, enak. Lebih enak daripada bakso."

"Ngadi-ngadi!" Dara berseru. "Mana ada makanan yang lebih enak daripada bakso."

"Terserahlah." Alex malas meladeni Dara yang terlihat bersikukuh dengan opininya. "Ngomong-ngomong memangnya tidak masalah ya kalau kamu bolos seperti ini?"

"Enggak soalnya emang hari ini sekolah ngizinin kita pulang lebih dulu."

"Pantesan. Saya pikir tadi kamu sering bolos."

"Huh, bolos? Gak mungkin lah. Lagian gak ada gunanya bolos sekolah tau gak."

Alex hanya mengangguk-angguk. "Dulu saya sering sekali bolos pas masih sekolah."

"Oh ya? Hebat berarti karena walaupun sering bolos tetap bisa jadi polisi."

"Udah takdir mau gimana lagi."

"Takdir juga kalau kita berusaha ngubah bakal berubah. Bisa aja takdirmu sebenarnya itu jadi sesuatu yang lain, tapi karena kerja keras jadilah polisi."

"Saya hebat ya berarti?"

"Ya gitu deh." Dara sebenarnya tidak suka memuji orang lain, tapi mau bagaimana lagi, bukankah mereka seorang teman? Dara tidak akan segan memuji temannya sendiri.

"Kamu orang pertama yang bilang kalau saya itu hebat. Rasanya bangga sekali kalau ada yang mengakui kita."

"Oh ya? Kenapa gitu? Kenapa gak kamu sendiri aja yang bilang ke dirimu sendiri kalau kamu itu hebat? Kenapa harus nunggu orang lain?"

"Saya gak yakin saya bisa bilang kayak gitu ke diri saya sendiri kayaknya. Karena ya, saya tahu diri saya ini gak hebat. Selama ini … sepertinya saya pernah cerita deh kalau di kantor saya dianggap gak becus, ya kan?" Dara menanggapi dengan anggukan sebagai jawaban dan Alex pun melanjutkan ucapannya. "Karena itu saya jadi mikir kalau diri saya ini tuh gak hebat."

"Kamu ini mudah terpengaruh dengan ucapan orang lain ya?" tanya Dara dan Alex mengangguk. "Emangnya gimana sih ceritanya kamu sampai dibilang gak becus sama semua teman kerjamu? Gara-gara apa?"

Alex tak menduga-duga Dara akan menanyakan hal tersebut. Pasalnya dia selama ini tidak pernah mendapatkan pertanyaan tersebut sama seperti dia tidak pernah dikatakan hebat oleh orang lain. Dan bercerita tentang masalahnya pun seperti itu, Alex tak pernah melakukannya.

"Gak mau cerita ya?" Dara menebak. "Yaudah kalau …."

"Sebenarnya …" Alex memotong ucapan Dara. "Ini semua karena saya salah tangkap pada saat menangani sebuah kasus pencurian berlian. Saya menangkap pelaku yang salah dan hampir saja orang itu dihukum karena saya. Untung saja dia bisa membuktikan diri di saat-saat terakhir. Jadinya dia selamat dari hukuman. Dan setelah dilakukan penyidikan ulang, pelakunya pun ditemukan. Tapi yang menemukannya bukan saya tapi kawan saya yang gara-gara kasus itu jadi naik pangkat."

Seumur-umur, ini adalah kali pertama Dara mendengar orang lain menceritakan masalahnya di hadapannya. Dan apa yang Dara rasakan sulit untuk ia ungkapkan. Dia merasa iba juga merasa kesal. Iba karena Alex diperlakukan tidak adil hanya karena satu kesalahan, dan kesal karena karena bukannya introspeksi diri dan berusaha untuk menjadi lebih baik Alex malah membiarkan hal itu terus berlarut-larut.

"Jadi, karena ini kamu jadi mikir saya pelakunya?" tanya Dara. Alex mendongak menatapnya. "Bukannya mau negatif thinking sama kamu, tapi bisa aja kasus di masa lalu itu terulang karena kamu curiga sama saya."

"Maaf sebelumnya, itu karena emang bukti-bukti mengarah ke kamu semua."

"Walaupun bukti-bukti mengarah ke satu orang, belum tentu orang itu adalah pelakunya. Bisa saja bukti-bukti itu sengaja diciptakan agar mengarah ke orang tersebut oleh pelaku sebenarnya atau bisa juga bukti-bukti yang kamu bicarakan itu emang bukti cuma kebetulan."

"Kalau gitu tentang sepatu itu gimana kamu akan menjelaskannya?" tanya Alex.

"Gampang sih kalau tentang itu, tapi pertama-tama saya mau kamu janji untuk percaya sama saya. Bisa?"

Alex sebenarnya enggan untuk percaya pada Dara, tapi rasa penasaran yang menggerogoti kepalanya memaksanya untuk melakukan hal tersebut. "Iya deh oke saya bakal percaya sama kamu."

Dara pun tersenyum mendengar janji yang diucapkan Alex. Dia bersiap untuk menjelaskan semuanya, tapi makanan pesanan mereka telah datang dibawa oleh pelayan yang sama dengan yang menanyakan pesanan mereka tadi.

"Selamat menikmati, mbak, mas," kata pelayan itu lalu berlalu pergi dan memberikan ruang bagi Dara dan Alex untuk mulai menikmati makanannya.

Yang paling bersemangat melihat makanan itu tentu saja Dara. Berkali-kali dia menelan air liurnya sendiri saking penasarannya dengan rasa makanan yang kini tersaji dihadapannya. Sedangkan Alex, malah sibuk menatapi Dara. Dia masih menunggu Dara untuk menjelaskan tentang sepatu itu.

"Kita makan dulu ya, udah laper nih. Jelasin tentang sepatunya bentar aja," kata Dara tanpa menatap Alex sedikitpun.

Hal itu membuat Alex berdecak kesal. Dia berpikir seharusnya tadi mereka tetap di halaman kantor polisi saja supaya bisa bicara tanpa gangguan.

*****
Para pembaca yang budiman, pada kesempatan ini saya selaku author mau nanya, menurut kalian cerita ini, kalau di rate dari satu sampai sepuluh nilainya berapa?

Terima kasih 🙏

𝐅𝐥𝐨𝐰𝐞𝐫 𝐢𝐧 𝐭𝐡𝐞 𝐛𝐥𝐨𝐨𝐝 TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang