Chapter 06: Rumah baru

61 9 2
                                    

MOBIL yang Alex kendarai itu akhirnya berhenti tepat di sebuah halaman rumah mewah. Alex keluar dari mobil disusul oleh Dara. Untuk beberapa detik pertamanya menginjakkan kaki di depan rumah itu, Dara hanya terdiam tak bisa berkata-kata. Rumah mewah di hadapannya ini telah memukaunya. Jika Alex tidak segera menyadarkannya maka mungkin saja dia akan terus berada di sana sejam kemudian.

"Ini rumahmu beneran?" tanya Dara ketika dia berdiri di depan pintu dan Alex tengah memutar kunci.

"Iyalah, memangnya rumah siapa lagi. Rumahmu tidak mungkin, kaukan sudah diusir dari rumah."

"Aish, sudah saya bilang saya kabur bukan diusir."

Dara telah menceritakan semuanya pada Alex sesaat setelah mereka resmi menyatakan akan bekerja sama di kantor polisi tadi. Awalnya Alex tak mau menampung Dara, tapi karena Dara terus memohon dan hampir kembali berlutut akhirnya Alex mengiyakan. Lagipula kata Alex dia tinggal sendiri jadi ada banyak kamar kosong di rumahnya. Padahal Dara pikir Alex sudah punya istri.

"Ayo masuk." Alex mendorong pintu rumah itu lalu memberi Dara ruang untuk berjalan memasuki rumah lebih dulu.

Sama seperti tadi saat di luar, Dara kembali terpukau. Dia tak menyangka bagian dalam rumah Alex akan sebagus ini. "Jangan bercanda, ini beneran rumahmu?"

Lama-lama Alex kesal juga kalau Dara terus bertanya seperti itu. Sudah jelas ini rumahnya karena dia telah mengatakannya tadi. "Kenapa memangnya, gak percaya orang sepertiku punya rumah sebagus ini?"

"Percaya-percaya, cuman gak nyangka aja gitu."

Rumah Alex ini memanglah sangat bagus, mulai dari pintu masuk sampai bagian belakangnya benar-benar luar biasa.

Di dekat pintu masuk, terdapat dua buah lorong yang mengarah ke kiri dan ke kanan, tapi Dara tak tahu apa yang ada di ujung masing-masing lorong lantaran Alex membawanya menyeberangi lorong itu dan menuju ke sebuah ruangan besar yang kemungkinan besar adalah ruang tamu. Pada ruangan itu, terdapat sebuah tangga menuju lantai dua. Di bawah tangga, terlihat empat buah sofa abu-abu yang saling berhadapan satu sama lain, ditengahnya sebuah meja kaca diletakkan. Di belakang tangga, sebuah jendela besar yang memperlihatkan kolam renang dengan latar belakang beberapa tanaman hijau membuat kesan asri begitu terasa. Dan dinding tepat di depan tangga itu terdapat begitu banyak foto-foto yang sepertinya menarik perhatian Dara lebih banyak. Dia berhenti tepat di hadapan foto-foto itu dan memandangnya lama.

"Saya tahu saya tampan tapi ini bukan waktu yang tepat untuk memuja-muji saya."

Dara segera berbalik dan menatap Alex dengan raut wajah mengejek, hidungnya mengernyit seolah mencium bau busuk. "Hilih, sok ganteng."

"Terserah." Alex mengibaskan tangannya. "Sekarang ikut saya."

Alex membawa Dara menaiki tangga menuju lantai dua, sepanjang langkahnya, Dara tak pernah berhenti untuk menatap ke sekeliling rumah seolah-olah rumah Alex ini adalah sebuah museum yang memiliki begitu banyak benda bersejarah. Tiba di lantai dua, Dara disuruh masuk ke sebuah ruangan yang berada tepat di depan tangga. "Untuk sementara ini adalah kamarmu, kamu bisa menggunakannya sesuka hatimu. Setelah mandi, kau langsung turun, temui aku di ruang kerjaku."

"Ruang kerjamu, di mana?"

"Ada di lorong kiri dari pintu masuk. Ruangan pertama yang kau temui adalah ruang kerja saya."

"Oke."

Dara masuk ke dalam kamar, meletakkan tas olahraganya di atas ranjang, mengeluarkan pakaian, kemudian masuk ke dalam kamar mandi. Setelah mandi, Dara merasa lebih segar dan tanpa menunggu waktu lama, dia segera keluar dari kamar dengan membawa ponselnya dan turun kembali ke lantai satu. Menelusuri lorong yang ternyata berisi foto-foto menuju sebuah ruang kerja Alex.

Tanpa mengetuk pintu, Dara langsung membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan. Ruangan itu berbeda dengan ruangan lain di rumah Alex yang pernah Dara lihat, pasalnya ruangan tersebut terlihat begitu sederhana. Hanya ada sebuah meja bundar lengkap dengan empat buah kursi dan sebuah papan yang ditutupi kain putih di dekat jendela yang menjadi penghuni ruangan itu. Alex duduk di salah satu kursi tengah sibuk menekuni sesuatu. Di depannya terdapat begitu banyak kertas-kertas yang setelah Dara lihat lebih dekat merupakan foto dari berbagai sudut mayat Reanna. Ada juga sebuah handphone yang dibungkus dalam kantong bening.

"Ini semua barang bukti ya?"

Alex hampir terjatuh dari kursinya mendengar pertanyaan Dara yang tiba-tiba. Pria itu tak mengetahui kalau Dara sudah berada di dalam ruang kerjanya sejak tiga menit lalu dan berdiri di belakangnya mengamatinya bekerja.

"Kamu ini, kalau masuk ke ruangan orang ketuk pintu dulu dong."

Sepertinya, Dara tak berniat untuk meminta maaf atau bahkan merasa bersalah karena telah mengejutkan Alex. Dia malahan langsung mengambil sebuah foto di atas meja dan memandangnya dengan begitu serius. "Ini, Reanna digorok?"

"Ya dia dia digorok lehernya, kok kamu tahu, kamu pembunuhnya ya?"

"Haha, lucu sekali!" Dara tertawa bohongan kemudian menatap Alex dengan tatapan datar. "Gak ada bukti lain selain ini? Pisau? Atau semacamnya?"

"Gak ada. Kalau ada sudah dari tadi pelakunya ke tangkep soalnya pasti sidik jarinya tertinggal, kan di pisau itu?"

"Begitu." Dara meraih sebuah foto lagi, foto kali ini bukanlah tentang mayat Reanna melainkan kondisi tempat ditemukannya mayat Reanna alias toilet. "Gak ada bekas jejak kaki atau apa gitu selain foto-foto ini?"

Alex menggeleng. "Sayangnya tidak ada."

"Kerja pembunuhnya bersih juga ya?" Dara mengangguk-angguk. Dia mengambil sebuah foto lagi dan sedikit kaget karena foto tersebut merupakan tangan Reanna yang tengah menggenggam sebuah kertas, kertas itu terlihat lusuh namun dengan cepat Dara mengenalinya sebagai kertas itu adalah kertas yang sama dengan yang Reanna tunjukkan padanya tadi pagi sambil mengatainya sebagai seorang tukang contek. "Gara-gara kertas ini saya dikatai tukang contek!"

"Ah kertas itu, kemungkinan besar Reanna mengambilnya dari tong sampah."

"Tahu darimana?"

"Soalnya di tong sampah banyak kertas sejenis."

Dara tertawa hambar, sekarang semuanya semakin jelas. Reanna memang cemburu padanya dan berusaha untuk menjatuhkannya dengan kertas yang entah milik siapa itu. "Mana jawabannya salah semua, dijadikan kertas contekan pula. Dasar dongo!"

"Sepertinya kamu sangat pintar sampai-sampai hapal jawaban yang benar dan salah."

"Jawaban saya selalu tepat jadi saya tahu mana jawaban yang benar dan salah kalau ujian."

"Begitu ya?" Alex mengangguk-angguk. "Kalau jawaban atas foto ini bagaimana?"

Alex menyodorkan sebuah foto yang memperlihatkan tangan Reanna yang lain tengah memegang beberapa helai rambut. Dahi Dara berkerut untuk beberapa saat, dia kemudian menyadari rambut yang Reanna pegang itu cukup panjang, mirip rambutnya.

"Rambut saya itumah, tadi si Reanna jambaknya kekencengan, hampir aja saya botak," kata Dara yang kemudian membalik tubuhnya dan memperlihatkan bagian kepalanya yang kini sedikit botak.

*****
Eh?

𝐅𝐥𝐨𝐰𝐞𝐫 𝐢𝐧 𝐭𝐡𝐞 𝐛𝐥𝐨𝐨𝐝 TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang