=53= The Hidden Arc

1.3K 323 19
                                    

"Takemichi sudah kembali ke masa depan, (Nama)-san." suara si pemilik surai keemasan itu menatap langit. "Sekarang apa yang harus kita lakukan? Apa kita hanya bisa menjalani hari seperti biasanya? Aku penasaran bagaimana Takemichi saat ini."

Chifuyu menghela napas panjang. Ditatapnya sosok gadis yang setahun lebih tua dari dirinya kini tak menggubris apa yang Chifuyu katakan tadi.

Sudah setengah jam berlalu pemuda itu duduk di bangku pinggir jalan dengan (Nama) yang tengah sibuk memilih bibit mana saja yang akan ia beli.

Flower Shop. Sebuah toko bunga kecil yang juga menjual berbagai macam bibit bunga.

"(Nama)-saaaan. Ooooi." Chifuyu menghela napasnya ketika gadis itu kembali tidak mengiraukan ucapannya.

Gadis itu tersentak kecil sambil mengerjapkan matanya. "Apa sih, Chifuyu-kun?" kedua alis gadis itu menukik kesal menatap pada Chifuyu.

"Kau mendengarku atau tidak sih?"

"Memangnya kau mengajakku bicara ya?" tampik (Nama) yang tadi melamun dan tidak menyadarinya.

Perempatan imajiner tercetak di dahi pemuda imut tersebut. "Tidak tahu ah!" Chifuyu jadi sebal sendiri.

(Nama) memutar matanya jengah dan kembali melakukan aktivitas-nya memilih bibit bunga yang ingin dibeli.

Dari samping, Chifuyu memerhatikan dengan serius wajah (Nama). Ekspresi gadis itu sedikit keruh akhir-akhir ini. Tepatnya setelah hari dimana Mikey memberikan kendaraan kepada Takemichi tempo hari.

Chifuyu juga sadar jika sejak hari itu, (Nama) selalu mengajaknya untuk menemani gadis itu ke mana pun. Ia berasalan takut mengganggu Mitsuya jika (Nama) mengajaknya.

Entah apa yang telah terjadi pada (Nama). Tumben.

Mata kebiruan Chifuyu menangkap kilauan kecil dari daun telinga (Nama) ketika angin menerbangkan helaian surai gadis tersebut. "Wow, sejak kapan kau menindik telingamu, (Nama)-san?"

(Nama) reflek menyentuh telinganya. Bayangan akan wajah Izana yang mendekat dan menci-- maksudnya, apapun yang terjadi malam itu muncul di kepalanya. "Bukan apa-apa."

Chifuyu menaikkan alisnya. "Kau hanya memakai paku tindiknya. Belum menemukan anting yang ingin kau pakai?"

Gadis itu menggeleng. "Mana aku tahu kalau akan ditindik, jadi tidak sempat beli antingnya."

"Hah? Memangnya kau menindik dengan siapa?" Pemuda itu mengernyit aneh mendengar jawaban (Nama).

Rona malu menjalar di pipi (Nama) ketika semakin ia bicara tentang tindikan ini, ingatan tentang ciuman malam itu semakin jelas di kepalanya. "Chifuyu, urusai!" (Nama) mengembungkan pipinya sebal. "Jangan kepo!"

"Loh, aku hanya tanya kok." Chifuyu ikutan ngambek. Padahal ia sedang mencari topik agar mereka ada pembicaraan, malah ia dimarahi. Cih.

Pemuda itu mengalihkan pandangannya sebal, lebih memilih melihat pemandangan pinggiran jalan yang sedikit lengang siang ini, mungkin sebagian besar warga masih sibuk bekerja.

Namun, tatapan Chifuyu menajam begitu melihat dua orang duduk di atas motor dengan mengenakan seragam putih yang familiar.

Tidak. Black Dragon sudah bubar tepat setelah dikalahkan malam natal tempo hari.

"Tidak mungkin ..." bisik Chifuyu ketika pikirannya tertuju pada gerombolan geng baru yang dipimpin b*jingan bersaudara itu.

Chifuyu segera berdiri dan menarik lengan (Nama) memasuki toko kecil itu.

"Chifuyu!" (Nama) hendak berontak, tetapi Chifuyu langsung menaruh jari di depan bibirnya.

"Sssst. Aku melihat anak buah Deux sedang kemari."

Kedua mata (Nama) melebar sedikit. Gadis itu tenang di tangan Chifuyu.

"Bukannya mereka bubar?" tanya (Nama) bingung.

"Seharusnya begitu," jawab Chifuyu. Sudah menjadi rahasia umum, jika sebuah geng kalah dalam bertarung, ada dua pilihan yang mereka miliki. Bergabung di bawah geng yang menang atau bubar dan pensiun.

Dua motor itu lalu lewat. Benar, seragam itu milik anggota geng yang dipimpin Deux dulu. "Apa yang sebenarnya terjadi? Deux dan Tetra masih buron, anak buah mereka tidak mungkin menjalankan geng sendiri."

"Ada kemungkinan lain," sahut (Nama) serius. "Deux dan Tetra tidak jauh perginya dari mereka. Mereka pasti memiliki rencana lain."

Chifuyu mengangguk setuju.

"Kita harus mengabari ini pada yang lain, (Nama)-san." Setelah itu keduanya segera pergi dari toko tersebut. Oh, tentu (Nama) tidak lupa membawa bibit bunganya.

***

Di depan sepasang mata keunguan Izana, sosok Ichiro atau One kini tersenyum lebar padanya.

"Penawaranku ini sangat menguntungkan bukan?" Pemuda bersurai kehitaman dengan mata merah yang diberi softlens hitam itu terkikik geli.

Di markas Tenjiku, Izana didampingi Kakucho dan beberapa anggota lain ditemui oleh One.

Kisaki menaikkan alis. "Dua kali." pemuda itu memperbaiki letak kacamatanya. "Dua kali aku bekerja sama dengan saudara-saudaramu, dan semua rencananya berantakan. Kau pikir kali ini aku akan percaya?"

"Heii, itukan salahmu yang memilih dua idiot itu. Aku berbeda," kekeh One mengusap mata sayunya.

"Dan salah satu idiot itu adalah orang yang punya wajah sama denganmu," balas Hanma lalu tertawa keras.  "Idiot," tekannya mengejek One.

Mata One memicing benci menatap Hanma. Jika saja pemuda tinggi itu tidak ada di sisi Kisaki dan Izana, One akan memerintahkan bawahannya menembak mati orang ini.

"Cih." One berdecak. Ia memilih kembali fokus pada Izana. "Bagaimana, Izana?"

Izana menatap One dengan beberapa kali kedipan. Mulutnya tertutup rapat dengan aura kepemimpinannya yang sangat elegan.

Kisaki menghela napas. Sebagai juru bicara Izana, ia juga mengambil tugas sebagai penasihat. Izana akan mendengarkannya. Pasti.

"Sebenarnya apa yang istimewa dari (Nama)? Kau dan saudaramu sangat terobsesi dengannya." Kisaki menyandarkan punggung ke sofa. "Bahkan b*jingan di sebelahku juga selalu berisik tentangnya."

"Cih, jangan samakan aku dengan mereka," balas Hanma kesal.

One menatap Kisaki lama. Penawaran yang ia janjikan pada Tenjiku, pasukan dan (Nama).

"Akan kupikirkan jawabannya jika kau memberitahukannya," sambung Kisaki lagi.

"Hahaha." One terkikik. "Yah, lagipula ini juga bukan rahasia."

Pemuda dengan surai hitam itu menyeringai. "Menurutmu, bagaimana cara menaiki tahta dari kerajaan yang sudah memiliki raja?"

Kisaki menaikkan alis. "Menggulingkan rajanya," jawabnya. ia tidak mengerti arah pembicaraan ini, setelah pemuda itu melihat tawa One lagi, akhirnya ia mengerti.

"Aku akan membunuh (Nama)."

Suasana hening seketika. Hanya diisi kikikan One yang seperti orang gila.

Urat emosi tercetak di dahi Hanma. "B*ngsat." pemuda itu menatap tajam One yang masih tertawa.

"Ijinkan aku bergabung di bawah komandomu. Aku sudah menguasai daerah Barat. Akan kuberikan semua pasukannya untukmu. Tenjiku akan menjadi geng terbesar se-Jepang." One menyangga dagunya. Senyuman tidak luntur dari bibir pemuda itu. "Dengan syarat ... buat kematian (Nama) dengan sangat tragis hingga teman-temannya tersentuh."

Dan setelah itu aku akan mengambil alih Tenjiku suatu saat, lalu menjadi raja yang sebenarnya..

Oh, (Nama). Ratu-ku. Kau akan segera mati.

"Asal kalian tahu, setuju atau tidaknya kerjasama ini, aku akan tetap menjalankan misiku." One berkedip. "Dua hari lagi aku akan menyerang Touman."

***

𝙁𝙇𝙊𝙒 2 [Tokyo Revengers] -𝚅𝙴𝚁𝚈 𝚂𝙻𝙾𝚆 𝚄𝙿-Where stories live. Discover now