33. Terracotta

40.6K 5K 152
                                    

Happy reading, seperti biasa jangan lupa meninggalkan jejak di lapak ini...
Instagram : @ellechelle_

***

Lydia meletakkan secangkir teh hijau di atas meja makan, memberikannya untuk Dion. Meja makan jadi tempat yang lebih nyaman untuk bicara dibandingkan ruang tamu. Dia juga menyodorkan beberapa kue kering yang tidak pernah absen, pasti selalu saja ada menghiasi meja mereka.

         Kedatangan lelaki itu cukup mengagetkan. Dia tidak begitu mengenal calon menantunya ini. Anak gadisnya itu memang setengah sinting karena membawa lelaki yang akan dinikahinya mendadak begitu, mana mungkin dia tidak khawatir. Menikah itu perkara serius, bukan seperti main rumah-rumahan kalau bosan tinggal pulang ke rumah masing-masing.

         Namun Lydia mencoba tetap tenang. Terra itu pembangkang, disuruh belok kanan dia pasti belok kiri, disuruh lurus dia malah diam ditempat. Kalau Lydia langsung menyerang, bisa makin jadi anak itu. Bisa-bisa dia minta nikah sekarang juga, makanya Lydia hanya diam saja menerima kelakuan anaknya. Untuk sekarang masih dia pantau.

         "Kamu udah makan siang? Mama nggak masak macam-macam, cuma ada ayam goreng sama sayur bayam saja. Kalau belum makan siang disini saja sekalian." Tawar Lydia.

         "Boleh ma, aku juga belum sempat makan." Tidak mungkin Dion tolak tawaran Lydia karena dia juga sudah lapar. Sejak pulang dari apartemen Reyya sebenarnya cacing-cacing di perut Dion sudah demo. Hanya saja dia mengabaikan mereka.

         Lydia menyiapkan lauk dan sayur seadanya diatas meja makan. Dia tersenyum kecil dari arah dapur saat melihat Dion yang curi-curi pandang ke arah kamar Terra. Dia tidak bodoh untuk bisa menebak kalau ada sesuatu yang terjadi antara kedua anak ini.

         "Terra sedang tidak ada, kalau kamu cari dia," Kata Lydia santai sembari menyendokkan nasi, ayam goreng, dan sayur bayam untuk Dion. "Dia lagi liburan. Kalau bahasa anak sekarang self healing katanya. Kamu kesini cari dia kan?" Tidak perlu diberitahu juga Lydia sudah bisa menebak. Dia pernah muda, pernah jatuh cinta, pernah bertengkar, dan pernah menikah juga. Apa yang anak muda alami sekarang dia sudah pernah mengalami. Bahkan ditinggal mati pasangan juga dia sudah mengalaminya.

         Dion mengangguk kikuk dengan pertanyaan Lydia. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Tidak mungkin dia menceritakan masalah mereka, yang ada dia bisa direbus hidup-hidup karena sudah mempermainkan anak semata wayangnya Lydia.

         "Terra cuti delapan hari." Hanya itu yang bisa Dion katakan.

         "Kalian berantem ya?" Dion diam, tidak menjawab. Dia menyuapkan makanan ke dalam mulutnya untuk menghindari pertanyaan itu.

         "Susah ya menghadapi Terra? Dia umurnya doang yang banyak, tapi kelakuannya masih anak-anak." Lydia terkekeh geli ketika mengingat putrinya itu. Kaum rebahan, tukang ngambek, pokoknya semua yang aneh-aneh ada pada Terra.

         "Nggak, Terra perempuan luar biasa yang pernah saya temui." Lydia sedikit merasa lega dengan jawaban Dion.

         "Terra Cotta itu nama yang diberikan oleh almarhum papanya. Dulu salah satu hobinya memang bikin tembikar," Kenang Lydia sambil membayangkan wajah almarhum suaminya. "Haparannya supaya sekeras apapun hidup ini membentuknya, dia tetap tumbuh menjadi sosok yang mengagumkan. Seperti tembikar dengan prosesnya yang luar biasa panjang. Mulai dari memilih tanah liat, merendam, membentuk, dijemur dibawah matahari, lalu dibakar di dalam tungku yang sangat panas sampai akhirnya bisa untuk dihias." Lanjutnya lagi. Bukan tanpa alasan, sepeninggal suaminya kehidupan mereka berdua berubah drastis.

         Lydia hanya ibu rumah tangga biasa, tidak mengerti bagaimana harus menjadi kepala keluarga dan menghidupi anaknya. Suaminya punya usaha kecil yang dia sendiri pun tidak pernah terlibat didalamnya.

TerraCotta (Completed)Where stories live. Discover now