Bab 9 : Tidak Terasa

Mulai dari awal
                                    

Tisha kontan melebarkan matanya. Ia sungguh terkejut dan nyaris tak mempercayai ucapan ayahnya.

"Seserius itu Syam ingin tahu tentang kamu, Tis. Buktinya sekarang dia melamar kamu."

Syam menunduk menyembunyikan senyumnya. Tisha tak tahu harus bahagia atau sedih. Sebelumnya sama sekali tidak ada yang memberi kejutan sebesar ini. Selain mengejutkan, kejadian ini juga mengesalkan.

Kenapa harus duda seperti Syam yang menjadi secret admirer-nya? Kenapa bukan laki-laki yang benar-benar single?

Memikirkannya membuat Tisha pusing tujuh keliling. Ia tak berminat menoleh pada Syam walau hanya sekedar melihat mimik wajahnya seperti apa. Tisha sudah jengah.

"Tisha."

Panggilan Syam membuat Tisha yang barusan beranjak dari duduknya berhenti tanpa membalikkan badan.

"Percaya sama saya. Saya janji akan membuat kamu bahagia," ucap Syam sungguh-sungguh.

"Yang membuat saya bahagia adalah ketika Allah mengabulkan doa saya, bukan ketika saya menikah dengan Bapak."

"Mungkin saya adalah jawaban dari doa-doa kamu?" balas Syam menarik kedua sudut bibirnya.

"Mana ada?!"

***

Tak terasa sudah nyaris satu bulan setelah kejadian mengerikan sepanjang hidup Tisha Atifa yaitu dilamar oleh seorang duda bernama Hisyam Al-Ghifari.

Kepala Tisha terasa pening dan nyut-nyutan. Otaknya terus saja memikirkan bagaimana reaksi keluarganya yang begitu antusias mengenai pernikahan ini.

"Tis! Tisha!" panggil Rein berulang kali ketika melihat Tisha termenung sembari menata roti di rak yang sesuai dengan kategorinya.

Rein berdecak sebab panggilannya sama sekali tidak digubris. Rein menepuk pundak gadis itu dua kali sembari menyeru namanya.

"Tisha! Woi!"

"Hah?" Tisha langsung tergugah dari lamunannya, saking kagetnya ia sampai menjatuhkan beberapa roti ke lantai.

"Astagfirullah, Tishaa!" Perempuan itu memekik nyaring.

"Kamu ini mikirin apa, sih?!" omel Rein ikut berjongkok memunguti roti yang terbungkus plastik itu lalu menaruhnya di tempat yang sesuai.

"Makasih, Mbak Rein." Tisha tersenyum kaku, mengangguk sopan ke arah Rein yang sudah membantunya.

Rein mengangguk membalas senyum Tisha. "Sama-sama. Lain kali hati-hati. Kerja itu jangan sambil ngelamun."

"Iya, Mbak."

"Kamu sebenarnya mikirin apa sampe gak fokus gitu?" tanya perempuan berkerudung itu sambil mengangkat dagunya sekali.

Tisha menunduk sedikit, memeluk nampan berwarna coklat gelap yang dipegangnya seraya menarik kedua sudut bibirnya tipis.

"Bukan apa-apa, kok, Mbak. Cuman masalah sepele aja."

Rein memicing curiga. Ia jelas tak percaya mendengar alasan klasik dari mulut Tisha. Bagaimana mungkin masalah sepele membuat seseorang termenung selama itu?

Rein berkacak pinggang. Mencondongkan tubuhnya, lalu menyipitkan mata memandang Tisha. "Mikirin Pak Syam?"

Tisha refleks melebarkan matanya ketika Rein menodongnya dengan tebakan kata-kata yang tepat sasaran. Rein yang mendapatkan reaksi Tisha tersenyum miring menjauhkan tubuhnya. Kini ia menjadi tahu alasan sebenarnya.

"Udah saya duga. Pasti kamu mikirin Pak Syam." Rein memperjelas maksudnya.

Perempuan itu membalikkan tubuhnya sembilan puluh derajat, membelakangi roti-roti yang tersusun rapi. Setelahnya Rein melipat kedua tangannya.

HISYAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang