Bab 5 : Memilih Cincin

Start from the beginning
                                    

"Bukan begitu, Tis." Pria itu mendongak dari piring yang penuh makanan. "Ayah merasa kalau Hisyam itu suka sama kamu dan kelihatan serius," jelas Hasan menatap Tisha yang duduk tak jauh darinya.

Tisha tersenyum kecil sambil menyibukkan diri. Ia melahap makanannya karena sedang malas menanggapi.

"Apa karena Hisyam itu duda jadinya kamu gak mau?" tanya Kiran tepat sasaran sesuai apa yang Tisha pikirkan.

Gadis itu mengangguk-angguk antusias dengan mulut yang penuh makanan. Ia juga mengacungkan kedua ibu jarinya.

Hasan dan Kiran kompak geleng-geleng kepala melihat bagaimana tingkah nyleneh putri bungsu mereka.

"Semoga aja hati kamu terketuk kalau Hisyam beneran serius sama kamu," ujar Hasan penuh harap.

***

Pagi ini sekitar pukul sembilan, toko Fathir Bakery terpantau masih sepi pengunjung. Kebanyakan dari mereka memesan via online. Itupun sudah sejak tadi selesai diatasi.

Kini Tisha sedang sibuk mengelap meja, kemudian lanjut membersihkan bagian atas etalase menyimpan roti, supaya makin kinclong.

Daripada dilanda bosan, mulut gadis berpakaian serba warna hitam itu tak berhenti bergerak merapalkan dzikir. Tidak lama setelah itu, terdengar suara derap langkah seseorang.

Tisha yang tanggap segera membalikkan badan, menatap datar perempuan yang mulai menyengir karena tak jadi mengagetkannya.

"Gak asik kamu, Tis. Baru aja Mbak mau kagetin!" omel Rein, mengendurkan senyuman lalu memberengut kesal.

Tisha menarik ujung bibirnya geli, seraya menggeleng pelan. Perempuan sebaya dengan kakaknya itu memang orangnya suka bercanda.

"Itu artinya Mbak Rein kurang profesional."

Rein terkekeh mendengar balasan Tisha. Perempuan itu lalu menumpukan dagunya di tangan yang berada di atas etalase seraya menatap Tisha yang sedang serius.

"Ngomong-ngomong, nih, ya. Cowok idaman kamu yang kayak apa, sih?"

Tisha berhenti sejenak dari aktivitasnya. Ia tersenyum melihat Rein. "Yang langka ditemuin di akhir zaman kayak sekarang."

Rein mengerutkan dahi tak mengerti.

"Cowok idaman saya itu yang taat sama Allah, akhlaknya baik, agamanya bagus, bisa menjaga hawa nafsunya, tahu yang mana auratnya, dan tahu batasan ketika berinteraksi sama lawan jenis yang bukan mahramnya."

"Menurut saya, yang terakhir itu jarang banget ditemuin. Bahkan ada yang ngerasa biasa-biasa aja dekat sama perempuan, padahal gak punya ikatan apa-apa."

Rein melongo di tempat ketika Tisha menjabarkan bagaimana kriteria lelaki idaman gadis itu. Rein mengerjap setelah Tisha menyelesaikan kalimatnya dengan mudah.

"Bentar ...." Rein menyela saat ingat akan sesuatu. "Maksudnya yang aurat tadi apa?"

Tisha menghela napas. "Batas aurat laki-laki itu, kan, dari pusar sampai lutut. Tapi kebanyakan cowok suka lupa kalau paha itu masuk aurat. Jadi kalau keliatan ya dosa, sama kayak perempuan yang keliatan rambutnya."

Rein mengangguk-angguk paham. Meski di hatinya menyimpan rasa minder karena Tisha jauh lebih mengerti agama ketimbang dirinya, ia tetap tersenyum dan berterima kasih.

"Mumpung belum mati, eh, maksudnya mumpung masih ada kesempatan, saya pengen tobat terus bareng sama suami saya." Rein cengar-cengir sementara Tisha menanggapinya dengan gelengan kepala.

"Kalau misalnya kriteria yang kamu sebutin tadi ada di Pak Hisyam ...." Ragu-ragu Rein mengatakannya sambil mengigit bibir bawah. Selanjutnya ia berbisik, "Kamu mau nikah sama dia?"

HISYAMWhere stories live. Discover now