Bagian 31

773 21 3
                                    

"Assh," ringis Ella kala jari-jari lentik Annora menempelkan kapas di pipinya. Memandang hal tersebut, gadis bersurai emas itu semakin geram. Emosinya sedari tadi terus tertimbun, setiap perkataan Gretta terngiang di kepala.

"Maafkan, aku karena melibatkanmu dalam setiap masalahku," sendu Ella menggenggam kedua tangan Annora. "Jika saja kau tidak berteman denganku, dirimu tak akan dihina seperti tadi."

Hatinya teriris menyaksikan hal tersebut. "Sudah kubilang berulangkali, aku akan terus melindungimu. Tak peduli meski aku harus terluka karena itu."

Bulir air bening mengalir di pipi Ella, badannya gemetar membuat Annora memeluk dan menepuk punggungnya perlahan.
Ketika Ella bertanya, "Kenapa kau peduli padaku?"

Terasa nyeri di kepalanya, masa lalu kembali terkenang membuatnya memejamkan mata. Menarik bibir meski terasa susah, ia berucap, "Karena kau adalah sahabatku, bukankah sewajarnya kita saling melindungi?"

Ella menggeleng. "Aku tak mau membuatmu, hiks-menderita. Cukup diriku jangan orang lain."

Annora diam mendengarkan, kepalan tangannya mengerat. Jika saja ia tak bertemu Ella, entah apa jadinya. Pembulian dianggap wajar oleh masyarakat umum. Seringkali mereka menyalahkan pihak perundung, mengatakan korban sebagai makhluk lemah tanpa mampu melawan. Padahal, setiap individu memiliki kepribadian, masalah dan lingkungan yang berbeda. Tidak bisa disamaratakan begitu saja.

Olehkarena itu, ketika di depan mata kepalanya sendiri terjadi perundungan. Tubuhnya tergerak sendiri untuk mengulurkan tangan. Meski dengan alasan tertentu ia melakukannya yang berhubungan dengan masa kelam, jiwa nuraninya kian perih ketika tahu Ella tidak hanya sekali mendapatkan perundungan.

"Sudah, kamu istirahat saja. Jangan pikirkan hal lain." Annora membantu Ella merebahkan diri. Dirinya terkekeh kecil ketika sahabatnya itu dengan mudah menuruti perkataannya.

Menunggu beberapa menit, ia beranjak mendekati tirai--berjarak tiga bilik dari Ella. Di sana berbaring Giska yang sedari tadi memejamkan mata.

Rautnya masih pucat, suhu tubuhnya juga naik. Makanan di nakas masih utuh, sebab ketika Giska makan pencernaannya menolak. Alhasil, dirinya harus diinfus.

Kekesalannya pada Evan kembali muncul, jika saja pemuda sialan itu tak mengurungnya ia akan datang secepat mungkin ketika Giska tumbang, bukannya orang lain yang tau lebih dulu.

Terlalu nyaman di lamunan ia tak sadar ketika Giska membuka mata. Barulah ia kembali pada realita ketika suara serak pelayannya itu terdengar.

"Nona ...."

"Ah, kau butuh sesuatu? Ada yang terasa sakit?"

Giska menggeleng seraya tersenyum lemah. "Anda kenapa berada di sini? Apakah Anda menjaga saya sedari tadi?"

Ditanya begitu entah kenapa Annora merasa bersalah, tapi tak tau akarnya di mana. "Tadi aku memang berniat menjengukmu, tapi ada insiden kecil jadi harus tertunda," ringisnya.

"Apakah Anda terluka?" Giska memasang wajah khawatir.

"Tidak, lihatlah aku baik-baik saja sekarang," jawabnya sambil memutar-mutar tubuh mengundang tawa ringan keduanya.

"Maafkan saya merepotkan Anda sampai harus datang ke sini."

"Kau itu berkata apa. Aku tak keberatan merawatmu dan tadi sekalian aku mengobati Ella."

Raut Giska sedikit berubah mendengar nama itu, secepat mungkin hilang, seolah tak ada apa-apa. "Nona Ella memangnya kenapa?"

Melihat raut Annora tak sedap dipandang, Giska menduga ada hal serius.

"Kau ingat pada gadis kembar yang bertengkar dengan kita tempo hari?"

"Em, gadis kembar? Apa waktu saya berebut pedang?"

"Ya, itu dia! Gadis itu yang membuat Ella terluka. Berani-beraninya dia melempar jerih payah masakan Ella bahkan menamparnya di depan umum," ceritanya menggebu jangan lupakan rautnya yang memasam.

Tidak sesuai ekpetasinya akan reaksi Giska mengingat dulu gadis itu mempunyai dendam sendiri akan kelakuan Gretta, tapi kini? Giska nampak tenang.

"Mungkin, beliau ada alasan melakukannya."

"Apapun alasannya tindakannya tidak dibenarkan. Bahkan dia berani mengancam dan menamparku."

"Menampar?" Giska bangun terburu-buru membuatnya memejamkan mata menahan rasa pening.

"Kenapa kau bangun? Tidurlah lagi," paksanya ketika Giska nampak enggan menurutinya.

"Mana yang sakit?" Tangan Giska merangkum wajah nonanya, menilisik keseluruhannya. Benar saja ada jejak memar di sana walau samar.

"Sudah tidak sesakit tadi. Jadi, tenanglah."

Apapun yang menyangkut Annora, reaksi Giska sama persis seperti ini. Sebab mereka berdua telah bersama-sama sejak kecil, di mana Giska satu tahun lebih tua dari Annora menjadikan gadis itu bagai adik tersayangnya.

"Jangan berurusan lagi dengan mereka, Nona." Apalagi dengan sahabat Anda itu, lanjutnya dalam hati.

"Mereka yang mencari gara-gara denganku. Maka akan aku layani dengan baik."

"Bisakah Anda mengalah saja?"

Annora memicingkan mata. "Mengalah katamu? Tidak akan pernah apalagi itu menyangkut orang terdekatku."

Dia hanyalah orang baru di hidup Anda, Nona.

"Sudah, ya kau tak perlu ikut campur. Istirahatlah dengan baik. Aku tinggal dulu." Annora tak perlu risau meninggalkan Giska sendirian karena di sini ada Ella yang menemani.

Ketika ia berbalik, lengannya di tahan Giska. "Bisakah Anda di sini saja?" cicitnya.

Melihat itu Annora terkekeh. "Kau itu seperti anak kecil saja. Jangan takut, ada Ella di sini." Melepaskan genggamannya dan mengulas senyum sebelum berbalik pergi, tanpa tahu tindakannya akan disesali di kemudian hari.

















Part ini sebagian dihapus untuk kepentingan penerbitan.

Punten, ya ヽ༼ຈل͜ຈ༽ノ

2. The Royal Princess Phineas [TERBIT]Where stories live. Discover now