Bagian 10

200 24 4
                                    

Terduduk di kursi ia menyandarkan tubuh. Terasa letih padahal dirinya tidak beraktivitas berlebih. Mungkin, tenaganya terkuras karena kejadian tadi.

Pemuda yang bisa dikatakan sepupu jauhnya dari garis keturunan masa lalu itu kini nampak kacau. Ditinggal orang yang dicintai memang membawa luka.

Ia juga telah mengalami hal tersebut sebanyak tiga kali. Pertama mendiang sang ibu, lalu ayahnya yang meski telah meninggalkan kekacauan di sekitar dan Cia.

Berbicara sosok gadis itu, pasti kalian pernah bertanya-tanya kenapa bisa dirinya jatuh cinta semudah itu ketika baru pertama kali bertatap muka? Sungguh, konyol.

Tanpa orang pernah tau. Armand telah lebih dulu bersitatap dengan Cia.

Di waktu itu malam dengan udara dingin, Armand pergi dari Academy Sirena menuju kuil Kerajaan Phineas sebab letak yang tak jauh dari academy.

Bersimpuh di hadapan sang Dewi mengeluarkan keluh kesah yang selama ini ia pendam.

"Kenapa Anda memberikan saya berperang batin seperti ini? Tidakkah cukup dengan kehilangan ibu seharusnya penderitaan saya berakhir?"

Setetes cairan bening mengalir dari sudut mata. Dadanya terasa kian sesak mengingat hidupnya selama ini. Pengabaian oleh ayahnya harus menjadikan Armand menjadi sosok mandiri sejak kecil. Merawat adiknya dari bayi, bayangkan seorang bayi merah belum pernah ditimang oleh sang ayah hingga kini. Kecewa? Sudah banyak ia telan rasa itu.

Belum di hadapan kalangan sosial, ia harus berlagak menjadi putra mahkota yang sempurna tiada cela. Tersenyum seolah dirinya bahagia atas kehidupannya. Baru di situlah ayahnya mau menatap dirinya dan mengulurkan tangan menunjukkan pada dunia mereka keluarga bahagia, tentu saja pura-pura.

"Pilihan mana yang harus saya pilih? Di satu sisi dengan cara itu ada harapan ayah bisa melihat saya, dan pilihan lainnya ada harga nyawa orang tak bersalah yang dikorbankan."

Semilir angin menerbangkan anak-anak rambutnya. Meski tidak ada jawaban secara langsung dari Sang Dewi setidaknya dirinya sedikit lega mencurahkan bebannya. Bukan sekali ini saja Armand berada di kuil, malam-malam yang lalu ia juga pernah pergi diam-diam keluar dari academy.

Seusai dirasa cukup untuk saat ini, ia berdiri seraya menghapus jejak air mata. Berbalik dan seketika terlonjak mendapati sosok asing di depannya. Mengusap dada menormalkan pernapasannya.

Armand memandang gadis itu dari atas hingga bawah. Memastikan kakinya nampak.

Sejak kapan dia berdiri di sana?

Surai abu-abu dengan manik ungu yang berkilau serasi dengan latar langit malam. Entah siapa dia--berdiri tenang membalas tatapan matanya. Tanpa ada ekspresi berarti dia melangkah mendekat di posisi Armand. Otomatis ia menggeser dirinya sedikit menjauh.

Dilihatnya semua gerak-gerik gadis itu, mulai dari bersimpuh, menunduk dan diam selama beberapa menit. Tak ada keluh kesah yang terlontar. Seolah dia nyaman berdoa dalam diam.

"Sopankah memandang seorang Lady seintim itu?"

Ucapan gadis itu membuat Armand segera mengalihkan pandangan. Padahal dia mengatakannya tanpa memandang bahkan melirik padanya.

Intim katanya?

Wajahnya memerah seketika. Ia meruntuki kebodohannya karena lancang pada lady yang entah bernama siapa. Apalagi tadi dirinya melihat penampilan dia dari atas hingga bawah. Beruntung kesalahannya tidak diungkit.

Daripada dirinya menjadi manusia kaku di sini, lebih baik pergi secepat mungkin. Satu langkah, dua langkah hingga mencapai pintu kuil gerakannya terhenti kala gadis itu mengatakan sebaris kalimat yang mampu membuatnya tertegun.

2. The Royal Princess Phineas [TERBIT]Where stories live. Discover now