Bagian 9

155 22 6
                                    

Tepat di pintu masuk maniknya menajam begitu mendapati sosok bersurai emas di penglihatan.

"KAU!"

Dua pemuda sontak menoleh mendapat seruan dari Evan. Langkah tegas dan cepat mendekat pada sosok itu. Tangannya sudah menarik pedang di pinggang dan ia layangkan pada dia.

TRING!

Pedang Evan berhenti tepat di depan sang lawan. Sir Robi menghela napas lega karena tepat waktu menghadang kelincahan tuannya. Benar-benar pemuda gila, batinnya.

"Kenapa kau di sini?" tanyanya sinis dengan membuang pedangnya hingga menimbulkan bunyi dengung bertubrukkan keras dengan dinding.

"Jaga tingkah lakumu. Ini bukan kawasanmu yang bisa kau gunakan seenaknya!" sentak Joan menatap tak suka pada mantan sahabatnya.

Evan mengabaikan Joan. Ia memandang penuh kebencian pada pemuda yang sedari tadi bersikap tenang. Apalagi manik merahnya yang sialnya sama sepertinya. Bedanya hanya manik Evan lebih berkilauan meski tidak berada di bawah matahari secara langsung. Seperti sekarang ini, tatapannya nampak mengancam persis hewan buas sigap menerkam mangsanya.

"Tenangkan dirimu kawan. Aku di sini tidak ingin menimbulkan perdebatan," jelas Armand. Ia menghela napas lelah. Selalu seperti ini jika ia berhadapan dengan Evan atau orang lain yang kerap kali menganggap keberadaannya mengancam.

"Cih, manasudi diriku menghirup udara yang sama denganmu. Silakan pergi dari sini!" usir Evan seenaknya.

Joan melotot pada Evan. Ia menggeser Armand agar mundur beberapa langkah di belakangnya.

"Ini bukan kawasanmu sekali lagi. Jika kau tidak sudi menghirup udara yang sama dengan kami silakan pergi dari sini," tekannya.

Evan menatap Joan dalam diam. Sorot matanya nampak sedikit kecewa. Buru-buru ia mengalihkan pandangan tak mau Joan membaca ekspresinya. Dengan wajah khasnya yang datar ia memasuki mansion melenggang begitu saja meninggalkan semua orang.

Di belakangnya Derric tanpa suara mengucapkan maaf pada dua pemuda itu. Ia mengikuti Evan yang telah berlalu. Tinggallah Sir Robi, Armand serta Joan di ruang tamu.

Hawa mencekam terasa pekat kala ia menyusuri koridor menuju kediaman Kalla. Para pelayan dan prajurit menunduk takut pada sosoknya.

Berdiri tepat di tempat tujuan ia menghirup udara sejenak menenangkan diri. Tak mau membawa emosi ketika bertemu sosok rapuh itu.

Dibukanya pintu perlahan, kepalanya menyembul mengamati keadaan sekitar. Nampak sepi dan menenangkan seperti biasa.
Terdapat sosok yang setia berada di atas tempat tidur. Napasnya teratur seiring dengan tubuh ringkih itu kian hari semakin pucat.

Otomatis senyumannya tercetak kala matanya bersibobrok dengan manik ungu tersebut. Rupa yang hampir mirip dengan sang kekasih kerapkali ia gunakan sebagai penyalur rindu.

"Ibu," ucapnya pada Kalla--Duchess Amor.

"Kemari, Nak." Kalla merentangkan tangan dibalas Evan dengan hangat. Sosok wanita yang telah ia anggap sebagai pengganti ibunya sejak kecil. Berbagi kasih sayang dengan dua anak beliau yang lain.

Usapan lembut di kepalanya membuat Evan memejam sejenak. Ketenangan yang dirasa lama tak ada mampu membuat matanya berkaca-kaca.

Aku rindu padanya. Aku rindu sampai diriku ingin ikut menutup mata selama-lamanya.

"Bagaimana kabarmu?"

"Buruk," ungkapnya dengan helaan napas keras.
"Kabar ibu bagaimana?"

Seulas senyum menenangkan muncul di wajah wanita itu. "Kabar ibu baik seperti yang kau lihat."

Evan tersenyum tanpa daya. Tubuh ringkih, kulit memucat kontras dengan pernyataan Kalla. Entah kapan terakhir kali dia menikmati cahaya mentari secara langsung.

Merenggangkan pelukan, Evan mengamati rupa Kalla. Wanita yang pertama kali menyambutnya di rumah ini dengan tangan terbuka. Dan dirinya malah membuat Kalla kecewa padanya.

"Ibu kenapa memanggilku kemari?"

Ia tahu kalau undangan itu pasti berasal dari Kalla. Meski menggunakan nama kediaman, Duke Amor sudah pasti tidak akan sudi melihat dirinya. Apalagi banyak kesalahan yang telah dilakukan Evan pada sang putri.

"Apa dirimu mau membawa ibu ke pusara Cia? Sudah lama ibu tak berkunjung ke sana."

Deg!

Sesak di dadanya terasa saat ia harus berbohong pada Kalla.

"Boleh saja, kapan ibu mau?"

Maaf, aku harus egois pada ibu dan lainnya.

"Jika kau tidak sibuk, sore nanti antar ibu ke sana."

***

Berbeda dengan suasana haru antara Kalla dan Evan. Di ruang tamu hanya keheningan antara ketiga laki-laki berbeda generasi itu.

"Atas nama Pangeran saya meminta maaf Tuan," ucap Sir Robi mengingat kejadian tadi.

Joan mengibaskan tangan. "Tidak perlu formal pada kami dan jangan meminta maaf karena Paman tidak bersalah."

"Pangeran sudah menjadi tanggung jawabku, Jo. Apalagi kalian pasti tahu perubahan pada pemuda itu," jelasnya dengan segera mengganti sapaan menjadi informal.

"Dia egois dan paling merasa menderita. Padahal banyak orang di sekitarnya yang jauh lebih menderita."

"Itu namanya cinta, ada penyesalan disetiap kehilangan sosok yang berarti di hati," terang Sir Robi menatap kedua pemuda itu.

"Cih, cinta?" tanya Joan tak percaya. "Dia selalu memberi luka pada Cia, disaat dia ingin dekat dengan Evan, pemuda sialan itu mengusirnya menjauh. Itu bukan cinta untuk Cia."

"Jika dirimu lupa. Kau juga sama sepertinya. Seharusnya seorang kakak melindungi adik bukan abai pada dirinya," ucap Armand telak membuat Joan terbungkam.



Part ini sebagian dihapus untuk kepentingan penerbitan.

Punten, ya ヽ༼ຈل͜ຈ༽ノ


2. The Royal Princess Phineas [TERBIT]Where stories live. Discover now