Bagian 19

108 19 1
                                    

"Ck, ck. Kau tidak pernah berubah Anak Muda," celetuk Mr. Hilbret seraya menggelengkan kepala.

Wajah Evan memasam, ia semakin menguatkan tekanannya pada pedang mereka yang beradu. Tanpa aba-aba, Evan justru beralih menyerang Mr. Hilbret.

Dua pedang saling berbenturan menimbulkan suara nyaring. Murid-murid saling berpandangan terkejut. Sesekali mereka memekik kala pedang Evan hampir menebas lengan dan tubuh bagian lain Mr. Hilbret.

Anehnya, Mr. Hilbret tak balas menyerang hanya dalam metode bertahan sementara Evan begitu mennggebu melayangkan serangan.

"Kau alasan dia tiada, kecerobohan dan kebodohanmu amat memuakkan," gumam Evan hanya bisa di dengar mereka berdua.

Mr. Hilbret dengan gesit menangkis serangan Evan yang akan mengenai pinggangnya. Menjaga jarak beberapa sentimeter, mengambil napas sejenak. Ternyata anak muda itu tak membiarkannya lega sedikit saja. Dengan brutal dia terus menghajarnya seolah memang mengharapkan kematiannya.

"Aku tahu kejadian itu memang andil dariku. Tapi Anda tidak bisa menyalahkan sepenuhnya takdir yang ditetapkan Dewa. Lady Amor telah beristirahat tenang di sana."

Mengeraskan rahang, alisnya menukik tajam. "Dia masih hidup, kalian yang bodoh percaya jika Kesayanganku telah tiada."

Mr. Hilbret berganti menatap Evan sendu. Ia bergerak ke samping kala ujung besi itu hampir menggoresnya. "Saya melihat sendiri di depan mata kepala saya. Bukan hanya saya saja tapi semua orang. Jangan membebani hidup Anda dengan ilusi, masih banyak hal yang indah di kehidupan ini."

Gerakan pedang Evan melambat mendengar setiap perkataan Mr. Hilbret. "Dan aku tidak pantas mendapatkan hal indah yang kau sebutkan."

Pria itu menggeleng. "Bukan tidak pantas, tapi memang Anda tak menginginkannya."

Berbeda dengan perbincangan intens keduanya, orang-orang di sekitar memasang raut penasaran sebab mereka tak bisa mendengarkannya.

Derric yang menjaga jarak bisa mendengarnya sebab dia telah dilatih dengan keras oleh nonanya dulu. Dalam hatinya ia berharap tuannya dapat mencerna setiap nasihat Mr. Hilbret. Bukan maksudnya membuat Evan melupakan nonanya, tapi dia juga manusia yang berhak bahagia yang telah lama terkubur dalam sebuah penyesalan. Boleh saja kita bersedih karena kehilangan sesuatu atau seseorang. Namun, jangan jadikan itu sebagai pemutus semangat hidup. Masih ada orang-orang yang menunggu kepulihan hatimu.

Harapan Derric kali ini belum bisa terpenuhi ketika Evan menyerang Mr. Hilbret dengan kuat mengundang pekikan semua murid.

"Dia pasti kembali. Jangan mencoba mengotori otakku. Tua bangka, sialan!"

Menendang dada Mr. Hilbret membuat pria itu memuntahkan darah segar. Evan membuang pedangnya sembarangan dan berlalu dari sana.

"Maafkan, sikap Tuan saya. Saya akan membayar pengobatan Anda." Sudah tugas Derric membereskan kekacauan yang diakibatkan Evan. Ia kali ini bersungguh-sungguh tak enak hati pada Mr. Hilbret. Pria yang berstatus pemilik akademi sekaligus gurunya itu masih layak untuk dihormati.

Bersandar di dinding setelah dibantu Joan dan Armand, ia mengibaskan tangan. "Tidak perlu. Kami bukan bertarung hanya sedikit salam pertemuan saja."

"Dia harus diberi pelajaran, Mr," ucap Joan dengan menahan segala umpatan.

"Sudah, kau berdua bantu aku berdiri. As-staga, pingganggku," rintihnya.

Hal itu membuat Derric semakin tak enak. "Mari, Mr. Anda harus segera diobati."

"Benar. Tapi, bukan tugasmu. Sekarang, kamu kejar Evan sebelum lelaki itu membuat kekacauan di sini."

Melupakan tuannya, Derric kalang kabut sendiri. Mengangguk dan berpamitan pergi. Berjanji dalam hati agar menunaikan niatannya mengurusi pengobatan Mr. Hilbret nanti.

2. The Royal Princess Phineas [TERBIT]Where stories live. Discover now