Bagian 18

112 20 0
                                    

Raven turun dari kereta. Maniknya menajam pada gadis di depannya. Meski mulutnya bungkam aura yang ditunjukkan Raven jelas menggambarkan keengganan.

"Aku ingin ikut kalian."

Alisnya menukik tajam. Tanpa ada permintaan 'tolong' dan basa-basi menunjukkan jati dirinya. Penuh kesombongan dan keangkuhan. Menggeleng tak habis pikir, Raven ingin berbalik pergi.

Ternyata gadis itu tak menyerah juga. Lihatlah betapa tidak tahu dirinya dia. Menuju ke arah kereta di mana tempat Annora berada, membuat pemuda itu sigap merentangkan pedang. Para pengawal yang ditugaskan raja juga ikut berlarian keluar.

"Eh, tenang semua. Saya hanya ingin meminta bantuan bukan mencelakakan orang."

Para pengawal bergeming hanya Ravenlah yang bisa mengomando mereka.

Gadis itu melirik Raven sinis, posisi yang rawan baginya. Mengangkat tangan tanda menyerah saat beragam pedang menghunus di depannya.

"Kalian tuli ternyata," ejeknya tanpa takut. Sebab terfokus pada gadis itu tanpa sadar terdapat celah di antara mereka. Dia menatap Raven penuh arti.

"Jika kalian tidak menurunkan ini sekarang juga." Tunjuknya ke arah pedang. "Akan saya laporkan sebagai bentuk pengancaman."

Meski sebagai bagian kerajaan, tentu mereka tidak kebal akan hukum. Para pengawal saling melirik tanpa kentara dan semua terfokus pada Raven. Pemuda yang dituju tetap gagah di posisinya.

"Silakan laporkan saja. Saya rasa tindakan kami tidak salah. Anda bisa mengatakan ini pengancaman, tapi dalam pandangan saya sebagai bentuk perlindungan dari gangguan Anda," ucap telak Raven.

Wajah gadis itu tak menunjukkan raut tersinggung, justru seringaian menimbulkan pertanyaan di benak mereka. Belum genap beberapa detik mereka mengerjapkan mata, gadis itu sudah berlari melewati celah yang terbuka tanpa sadar.

Belum sempat dicegah, gadis itu mengetuk pintu kereta. Menggertakan gigi kesal ia melangkah cepat dan menodongkan pedang ke lehernya, bersamaan dengan itu pintu kereta terbuka.

"Anda---Astaga!"

Annora menutup mulutnya memandang gadis yang kini tengah bersimpuh dengan pedang ditodong di lehernya. Secara refleks ia memegang leher yang terasa kebas.

"Raven?" tegurnya.

Namun, tak digubris oleh kesatria-nya itu.
Mengabaikan getaran di tubuhnya, Annora keluar dari kereta. Baru tersadar kini dirinya tengah dikelilingi oleh pengawal.

Apa yang sebenarnya telah terjadi?

Memandang ke arah gadis itu ada setitik rasa iba mengamati raut ketakutan di sana.

"Nona Ella?" panggilnya berhasil membuat Ella menatapnya.

Sedikit terkejut saat melihat buliran air di kedua pipi. "Raven, lepaskan dia."

"Tapi, Nona--," protesan Raven terpotong karena telapak tangan nonanya mengudara.
Berat hati dia menjauhkan pedang, tapi sebelum itu dengan sengaja Raven menekan pedang itu di kulit leher Ella.

"AW!" lengkingan Ella membuat Annora mendekat. Ikut bersimpuh di dekatnya. Di sana terdapat jejak melintang dengan darah yang mengalir. Melirik penuh peringatan pada Raven meski begitu Annora tidak menceramahinya saat ini.

Belum saja. Ia hanya menjaga nama baik kesatrianya di hadapan pengawal lainnya. Mengode Giska untuk membantu memapah Ella menaiki kereta.

Di belakang ketiga gadis itu, Raven tengah bersungut-sungut karena tak berhasil menghalangi si pengacau.

Seusai Ella duduk dengan nyaman di kereta, Annora segera mengobati luka di lehernya.

"Maafkan atas tindakan pengawal saya, Nona."

Ella menggeleng pelan. "Tak masalah. Seharusnya, saya yang meminta maaf pada Anda."

Mengemasi kapas yang telah ternoda, Annora terhenti sejenak. "Kenapa Anda meminta maaf?"

Tertunduk dengan telapak tangan gemetar. Di benak Annora mungkin di luar tadi gadis ini merasa terlalu diintimidasi.

"Katakan saja, Anda aman di dekat saya."

"Em, saya tadi hanya ingin meminta tumpangan pada Anda, tapi dicegah para pengawal tadi."

Dalam hati Annora berjanji akan memberi peringatan pada Raven nanti.

"Kenapa Anda bisa berada di daerah ini sendirian?"

Perbatasan memang sering dilewati kereta yang hilir-mudik. Meski begitu mereka akan fokus pada tujuan masing-masing. Abai akan sekitarnya.

Ella tak menjawab hanya tertunduk semakin dalam. Annora merasa bersalah mengira terlalu ikut campur membuat dia mungkin terganggu.

"Tujuan Anda ke mana, Nona?"

"Sa-saya hendak ke Akademi."

"Akademi Adena?" tanyanya meyakinkan.

Ella mengangguk.

"Kebetulan tujuan Anda sama dengan saya. Jika tidak keberatan Anda bisa ikut bersama saya."

"Benarkah boleh?"

"Tentu boleh. Sebagai bentuk permintaan maaf saya atas sikap para pengawal sampai membuat Anda terluka. Saya harap Anda sudi memaafkan."

"Tidak masalah, Lady--"

"Panggil saya Annora saja."

Senyum sumringah tercetak di wajah Ella. "Baik, Annora."

Keduanya melanjutkan perbincangan ke topik lain. Tanpa menyadari ada sosok lain yang merasa tersisihkan meski begitu hanya senyuman yang muncul di permukaan.

***

Kereta megah memasuki gerbang akademi. Kuda-kuda yang kokoh dilapasi emas sebagai pelindungnya tak kalah memesona dari sosok di dalamnya.

Para siswa otomatis terhenti dari aktivitas masing-masing karena tak ingin tertinggal oleh objek di hadapan.

Kereta itu terbuka dan muncullah Evan tak ketinggalan Derric di belakang.
Wajah sang pangeran seperti biasa datar dan semakin dingin berbeda dengan perubahan penampilan Derric.

Dulu pemuda itu tak pernah meninggalkan kaca mata membingkai wajahnya kini netra kuning keemasannya bisa dilihat secara jelas. Jangan lupakan baju dan aksesoris yang dirombak total.

Mereka berdecak kagum menikmati keindahan di depan. Saling berbisik lirih meneriakkan pujian. Tak berani untuk mengeluarkan suara sebab sudah tersebar tepramental Evan yang berubah kian kejam.

Meninggalkan begitu saja kusir tanpa pamit. Derric yang bertugas berterima kasih. Dia meruntuki sikap Evan yang kian kurang ajar menurutnya.

Langkah tegas dan wajah acuh mendapati pandangan penuh binar di sekelilingnya. Bukannya senang justru risih yang didapat.
Mempercepat langkah sebisa mungkin segera menjauh dari keramaian.

Tinggal enam bulan lagi. Ya, hanya butuh waktu itu Evan dan lainnya menempuh pendidikan di tingkat terakhir. Seharusnya, mereka masih di tingkat menengah sebab gagal dalam pemanggilan mate dulu. Akan tetapi, karena Evan--satu-satunya siswa yang berhasil saat itu--memberi permintaan sebagai bentuk hadiah untuknya yaitu agar teman-teman satu angkatan naik ke tingkat terakhir. Ia hanya tidak mau semakin merasa sendirian nantinya di tengah keramaian di sekelilingnya.

Dari arah berlawanan terdapat sosok Armand dan Joan, nampak akrab berbincang satu sama lain. Mendapati musuh bebuyutannya mampu mengusik emosi Evan.

Tahu akan niatan tuannya yang akan membuat keributan, Derric menahan bahunya. "Sudah, jangan membuat kondisi kian runyam. Saya sudah pusing harus mendengar ceramah ayah Anda," ucapnya frustasi.

Bukan Evan namanya jika mau menuruti perkataan orang lain. Ia menghentakkan pegangan Derric di bahunya dan melangkah pergi.

"Wah, wah lihat di sini ada siapa. Penghianat masih berani ternyata menampakkan diri di sini."


Part ini sebagian dihapus untuk kepentingan penerbitan.

Punten, ya ヽ༼ຈل͜ຈ༽ノ

2. The Royal Princess Phineas [TERBIT]Where stories live. Discover now