Bagian 12

139 23 3
                                    

"Ibu, Ayah!"

Dua gadis di balik jeruji besi begitu melihat kedua orang tua mereka segera mendekat. Jejak air mata telah mengering di kedua pipi ditambah pakaian serta rambut yang sudah acak-acakan.

"Keluarkan kami dari sini. Aku takut." Arrin menatap orang tuanya penuh harap dibalas dengan wajah penuh rasa bersalah.

"Maafkan kami, Nak." Marchioness mengalihkan tatapannya sebab tak kuasa melihat kekecewaan mereka.

"Mak-ksud Ibu apa? Bu, jangan bilang ...,"

"Kalian percaya pada kami. Ibu bisa meminta pada hakim agar meringankan hukuman kalian."

"Tidak, tidak! Ayah, pasti kalian bercanda, kan?" Tak ada harapan pada sang ibu, Orrin beralih pada sang kepala keluarga.

Harapannya kandas saat pria itu menggeleng seraya berkata, "Maafkan, kami Nak. Ayah dan Ibu tak punya pilihan lain."

Wajah Arrin seketika memerah. Dia yang paling tidak bisa menahan emosinya daripada Orrin.
"KALIAN EGOIS! SIAPA YANG MENYURUH KAMI MELAKUKAN HAL ITU JIKA BUKA KALIAN, HM? LEBIH BAIK KAMI DIHUKUM MATI SEKARANG!"

"Nak, Nak. Tenang dulu, ya?" Marchioness seketika panik saat putrinya dengan brutal memukulkan kepalanya ke dinding begitu keras.

"Monaco, tolong. Anak kita ... tolong." Betapa takut dirinya terjadi sesuatu pada kedua anaknya. Meski dirinya ikut andil dalam hal ini, mereka berdua tidak punya pilihan lain.

Suaminya itu memanggil penjaga untuk melihat kondisi Arrin. Begitu mereka sampai di sana ada Arrin yang sudah tergeletak lemas dengan jejak darah membasahi lantai.

Dibukanya sel tahanan dan Arrin digendong menuju unit kesehatan. Nanar matanya tak kuasa ikut merasakan sakit melihat kondisi sang putri.

Marchioness berbalik menatap Orrin yang kini bersandar tenang di dinding. Memang Orrin lebih mudah mengontrol emosinya, tetapi bukankah aneh dia tak bereaksi apa-apa melihat saudaranya terluka?

"Nak," panggil Marchioness ragu-ragu. Menunggu lebih lama tak ada reaksi membuat keningnya mengerut bingung.

"Bolehkah saya melihatnya dari dekat?" izinnya pada penjaga.

Penjaga itu nampak berpikir lantas mengangguk setelahnya. Daripada ada kejadian seperti tadi terulang lagi.

Secara perlahan ia mendekat pada Orrin. Tangannya sudah terulur ingin menyentuh telapak tangan gadis itu.

"Nak? Orrin?"

Belum sepenuhnya ia menyentuh telapak tangan Orrin, gadis itu berbalik menatapnya tajam membuat Marchioness berjalan mundur.
Ia tidak bermimpi, kan?

"Orr--"

"Jangan sebut namaku dengan mulut licinmu itu."

Deg!

Tak ada bentakan hanya intonasi tenang yang didengar. Namun, kalimat tajam penuh penekanan itu membuat dadanya kian sesak. Tanpa sebutan 'ibu' seperti biasa menggambarkan betapa kecewanya padanya.

"Pergi," usir Orrin pada ibunya seraya memalingkan wajah.

"Dengarkan kami. Kamu tahu ibu tidak punya pilihan lain. Jika tidak keluarga kita terancam."

"Dengan mengorbankan kami? Melihat kami menderita hingga mati mengenaskan di sini?" Orrin tertawa getir.

Marchioness menggeleng cepat, tangannya di samping gemetar. "Dia berkata akan menjamin keselamatan--"

"Kalian percaya dengan dia? Tidak cukup menjadi bukti keberadaan putri kalian di sini?"

Marchioness terdiam seketika. Seperti menyadari letak kesalahannya ia menoleh pada sang suami.

2. The Royal Princess Phineas [TERBIT]Where stories live. Discover now