37 - Menanti Kabar

Start from the beginning
                                    

"Mama nggak bareng Papa?"

"Papa masih ada urusan, tadi baru selesai operasi. Mama laper nih, Mama mau pesen pasta, spagheti aglio olio enak kali ya, kamu mau juga? Atau pengen menu lain?"

"Ngikut mama aja," balas Garvin.

"Beneran?"

Garvin mengangguk.

Mama Garvin akhirnya masuk ke kamar. Garvin melanjutkan aktivitasnya memanjakan Bobby sambil mengecek ponselnya. Pesannya ke Katrin belum juga sampai.

Tak lama kemudian mamanya kembali muncul. "Beneran mau pasta juga?"

Garvin mengangguk lagi. "Ngikut mama aja."

"Ngikut mama aja itu bukan jawaban, Garvin. Kamu kalau ada kemauan sendiri, bilang, ya. Mama nggak bisa baca pikiran kamu."

Garvin menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mamanya kini memandangnya dengan raut penasaran, tapi Garvin tetap pada pendirian. "Aku... ngikut mama aja."

Mamanya mendengkus. "Oke, mama pesen, ya."

Garvin mengangguk dengan senyum tipis.

Setengah jam kemudian pesanan datang. Garvin duduk berdua dengan mamanya di meja makan. Mamanya sudah mandi dan sudah nyaman dengan piamanya, dan dia menikmati spaghetti-nya sambil menggobrol santai dengan Garvin.

"Mama tadi ketemu Reihan di rumah sakit," ucap mama Garvin.

"Oh ya? Ngapain? Dia sakit?"

"Iya, kata mamanya tadi beberapa hari kemarin dia kena flu, terus sekarang maagnya juga kambuh, jadi ngeluh perutnya nyeri dan pusing-pusing. Untungnya nggak begitu parah jadi nggak perlu dirawat."

Garvin menengak air mineralnya dalam diam. Mendadak ia kepikiran Katrin. Cewek itu juga sakit, kan? Kok bisa sakitnya barengan? Kayak janjian aja.

"Pantes tadi nggak lihat Reihan di sekolah," jawab Garvin walau sebenarnya dia memang jarang ketemu cowok itu karena beda kelas dan beda kesibukan.

"Reihan tadi selain sama mamanya sama cewek juga. Kayaknya anak sekolah kamu juga karena tadi pake seragam sekolah kayak kalian. Kamu kenal pacar Reihan?"

"Oh, kayaknya Kanya. Nggak kenal sih, tau aja sama orangnya."

"Cantik, ya. Reihan anak OSIS, ya? Pasti sibuk banget tuh di sekolah, sempet-sempet aja dia nyari pacar."

Garvin cuma tersenyum tanpa arti.

"Kamu juga, sebenernya kalau mau pacaran boleh aja sih, Gar."

"Hah?" Garvin langsung mendongak, memandang mamanya terkejut.

Mama Garvin berdehem, kemudian dengan santai ia mengelap mulutnya dengan tisu. Makan malam mamanya sudah tak bersisa di piring. "Jangan kaku banget, Gar. Nggak papa kalau kamu mau melakukan apa yang kamu mau."

Garvin mengerjap bingung. Kok mamanya tiba-tiba membahas ini, sih?

"Sejak kamu kecil, mama sama papa selalu menekankan kalau belajar itu penting. Kamu harus rajin belajar biar pinter dan jadi orang yang sukses di masa depan. Bikin mama papa bangga. Tapi sebenernya, di proses itu, kamu juga harus have fun, Gar. Ada hal-hal lain juga yang bisa dilakukan selain fokus sama nilai akedemik kamu yang sudah sangat sempurna itu."

Sebenarnya, mama dan papanya tidak pernah terang-terangan memaksa Garvin agar bersinar di bidang akademik. Tapi, mama dan papanya yang paling bersemangat ketika melihat nilai luar biasa Garvin di rapor  mereka juga yang paling antusias mencarikan tempat bimbingan belajar terbaik, memberikan buku-buku mahal yang bisa menambah ilmu pengetahuan Garvin. Dan Garvin mengartikan perbuatan orang tua angkatnya itu sebagai perintah yang tidak mungkin bisa ia bantah.

Karena KatrinaWhere stories live. Discover now