37 - Menanti Kabar

Start from the beginning
                                    

"Lo khawatir sama Katrin, Gar?" tanya Dewi.

"Dia bakal baik-baik aja."

Dewi berdecak. "Lo yang bikin Katrin ngejauh, tapi kemudian lo yang paling penasaran sama kabarnya. Gue mencium tanda-tanda."

"Tanda-tanda apa?" tanya Garvin sok nggak mengerti.

"Tanda-tanda akhir tahun!" dengkus Dewi sebal. Garvin nggak tertawa dengan lelucon itu.

"Tanda-tanda jatuh cinta lah, Gar. Ck, kalau suka bilang kali, jangan lari, jangan bikin Katrin bingung aja. Dia bisa-bisa makin sakit kalau kepalanya disuruh mikirin kelakuan lo yang tarik ulur begini," ucap Dewi sungguh-sungguh.

Sebagai sahabat Katrin, Dewi merasa harus memberi pencerahan kepada Garvin agar kisah mereka berakhir happy ending.

Garvin memasukkan tangannya ke saku, dia memandang Dewi dengan wajah datar. "Jangan berlebihan, gue cuma nanya dia sakit apa. Nggak ada sangkut pautnya sama perasaan gue."

Dewi berdecak lagi, kali ini diiringi gestur geleng-geleng kepala. Sungguh ia tidak habis pikir dengan cowok di hadapannya ini.

"Terserah, deh. Jangan nyesel aja kalau Katrin kenapa-kenapa."

"Kenapa-napa gimana?"

"Ya mikir, aja. Mungkin dia lagi berjuang hidup dan mati. Silakan ambil langkah sebelum semuanya terlambat."

Dewi menutup kalimatnya dengan wajah sengak, kemudian dia berjalan ke bangkunya tanpa menoleh lagi ke arah Garvin. Garvin jadi termenung di tempatnya. Hal itu lah yang melatarbelakangi alasan Garvin nekat mengirim pesan kepada Katrin. Namun sayangnya, pesan itu tidak terkirim. Sepertinya hp cewek itu mati.

Gara-gara itu, Garvin jadi tidak konsen melanjutkan pelajaran. Dia juga nggak konsen ketika mengikuti bimbel sepulang sekolah. Ketika dia sampai ke kamar, entah kenapa perasaannya jadi kesal.

Tidak ada tanda-tanda pesannya pada Katrin terkirim. Apa cewek itu benar-benar tak punya waktu untuk menyalakan ponselnya? Apakah dia benar-benar tidak punya kekuatan untuk bangun dari kasurnya? Kalau begitu, apa sakitnya memang separah itu?

Garvin melempar ponselnya ke atas kasur, dia memutuskan untuk mandi, berganti pakaian santai lalu bergerak menuju ruang keluarga dimana kucing kesayangannya tengah bergelung disana. Setelah memberi makan Bobby, Garvin membawa kucingnya itu kembali ke ruang tengah untuk menemaninya menonton tv. Garvin mengecek ponselnya sekali lagi, pesannya ke Katrin masih centang satu.

"Nyokap lo kok bisa sakit sih, Bob?" tanya Garvin sambil mengelus kepala Bobby yang duduk tenang di sampingnya.

Lalu helaan napas lolos dari bibir Garvin. Apa perilakunya sudah kelewatan ya pada Katrin? Membuat cewek itu menjauh apakah memang keputusan yang tepat? Atau itu cuma tindakan gegabahnya yang membuat hatinya makin tak karuan. Garvin memejamkan matanya dan menjatuhkan kepalanya ke sandaran sofa. Ucapan Katrin di laboratorium kemarin membekas jelas di benaknya. Cewek itu tidak baik-baik saja.

Tiba-tiba Bobby mengeong, lalu naik ke pangkuannya dan bergelung disana dengan manja. Garvin mencubit pipi gembulnya dengan gemas lalu mengelus bulu lembutnya. Untung saja dia punya nyali meminta Katrin untuk membiarkannya merawat Bobby, kalau tidak, Garvin pasti akan makin merasa kehilangan.

"Garvin, udah makan?" Suara Mamanya terdengar. Garvin menengok dan melihat mamanya muncul. Mamanya sepertinya baru pulang dari rumah sakit.

"Belum, Ma," ucap Garvin. "Nanti aja." Hari ini Bi Rima, asisten rumah tangganya tidak datang karena anaknya wisuda, jadi tidak ada yang menyiapkan makan malam. Garvin awalnya berencana untuk delivery saja, tapi karena dia belum bernapsu, dia mengurungkan niatnya.

Karena KatrinaWhere stories live. Discover now