13. Terimakasih

69 33 18
                                    

6 tahun kemudian..

Nadif tersenyum hangat melihat adiknya yang mulai pulih, gadis itu sudah melakukan yang terbaik, tumbuh dewasa dengan melawan depresinya, melawan dirinya sendiri untuk terus bertahan hingga saat ini, sudah enam tahun semenjak kejadian itu semua terjadi.

Satu hal yang Nadif pelajari, tidak panas dan menggigil bukan berarti seseorang itu baik-baik saja, terkadang orang yang paling membutuhkan pertolongan adalah seseorang yang selalu terlihat baik-baik saja tapi ternyata menyimpan semuanya sendiri.

Juga, siapa yang bilang saat ke psikiater atau psikolog itu artinya kita gila? Tidak!

Itu kalimat paling jahat yang pernah di dengarnya, ia ingat saat Na Na mengetahui tentang keadaan dirinya, gadis itu mengatakan hal yang begitu mengiris hati nya

"Mas Nadif, apa aku gila?" tanyanya dengan pandangan kosong.

Dengan tegas Nadif menggeleng, "Enggak! kamu baik-baik aja, hanya saja, saat ini kamu perlu sedikit perhatian lebih, semua baik-baik saja, percaya sama mas. Jangan dengarkan ucapan mereka, oke? " ucapanya saat itu dengan yakin.

Dan benar, ia bisa melihat bagaimana adiknya berjuang saat itu, melewati hari-harinya dengan susah payah, begitu bersyukur gadis itu bisa menjadi seperti saat ini.

"Gimana?" tanya gadis itu berjalan ke arahnya.

Nadif melihat sekeliling dengan tersenyum lebar, "Luar biasa, keren!" ucapanya mengangkat kedua jempol nya.

Na Na juga tersenyum, ruangan itu akhirnya benar-benar menjadi nyata di hidupnya hari ini, setelah semua yang di laluinya ia ingin mewujudkan satu hal dalam mimpinya, walau pun ia juga tau ada beberapa yang sudah tidak bisa di wujudkannya.

Selama enam tahun terakhir Na Na berjalan bersama mimpinya, baginya ada hal yang tidak perlu benar-benar di perbaiki dalam dirinya, yaitu mimpinya, karena dengan mimpinya lah dirinya bisa terus melewati hari-hari berat itu.

Dalam hari-hari berat itu, ia mewujudkan mimpinya menjadi seorang desainer hingga berhasil membuka butik nya sendiri hari ini,

satu hal pasti yang tidak pernah dirinya sesali, menjadi seorang penggemar yang mengidolakan sosok luar biasa seperti 'Dia'.

Ia tidak pernah menyesalinya bahkan saat dirinya harus melewati ini semua, baginya, semua perjalanannya itu begitu berharga dan menyenangkan walau terasa sedikit sulit.

Ia begitu bersyukur bisa mengenalnya, sungguh, tidak munafik, "dia" lah yang membuat dirinya mengenali sisi dirinya yang lain, membuatnya merasa tidak kesepian dan seakan memiliki teman.

Ia tidak menyesal dengan langkahnya dulu, seperti ucapannya, bahkan jika hal buruk itu benar-benar terjadi maka masih ada dua kaki untuk mencari jalan lain lagi.

Baginya, hidupnya hari ini adalah sebuah anugerah, seperti saat pertama kali dirinya mengenalnya sebagai idola, seseorang yang bersinar di dunianya yang gelap.

"Terimakasih, sudah menemani Na Na hingga hari ini ya mas" ucap Na Na tulus pada kakaknya yang sudah tersenyum hangat.

"Terimakasih juga karena sudah berkerja sekeras ini" balas Nadif lembut, percayalah kalimat sederhana seperti ini akan menjadi sangat luar biasa bagi mereka yang mendengarnya.

Bukankah sangat mudah membuat orang lain bahagia dan kuat dengan kata sederhana ini? tapi kenapa terkadang begitu sulit untuk mengatakannya?

Na Na terkekeh kecil "Sekarang waktunya mas Nadif untuk mencari kebahagiaan, aku udah bahagia dengan diriku saat ini, cari seseorang yang bisa membuat mas Nadif terasa lengkap sebelum mas keburu tua dan gak ada yang mau" Gurau Na Na.

"Kamu ngeraguin ketampanan masmu ini?"

"Ahahah, bukan gitu, tapi aku gak pernah lihat mas Nadif dekat dengan perempuan" jawab Na Na tertawa kecil.

"Banyak yang deketin, cuma mas lagi mager aja" jawab pria itu kalem.

Menjadi dewasa memang seperti ini, seperti membuka lembaran baru dari sebuah buku, terasa mudah tapi sebenarnya membutuhkan waktu untuk mengisinya lalu memahami isi selembar kertas itu.














TBC, 2021
Diary for my Angel

End of a Day | SELESAI Where stories live. Discover now