4. Kita

88 36 27
                                    

Mungkin, yang paling jahat di dunia ini adalah diri sendiri

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Mungkin, yang paling jahat di dunia ini adalah diri sendiri.

Mungkin, yang paling menyedihkan di dunia ini juga diri sendiri.

Bahkan saat semalam dunia menghancurkan dirimu, pagi benar-benar menjadi buta akan dirimu, tangisan semalam hanya seperti mimpi buruk yang tidak pernah terjadi, padahal rasa sesaknya masih terasa hingga kini.

Mata cantik itu masih bisa membagikan kehangatan seperti matahari, begitu tenang dan lembut.

Menjadi seperti sebuah kebiasaan dan kebahagiaan bisa menatapnya dari kejauhan seperti ini, memperhatikannya berada di tengah-tengah kebisingan, namun masih bisa terlihat begitu tenang dan indah.

"Kakak mau minta tanda tangan juga?" aku tersentak dari lamunanku saat seorang gadis dengan baju seragam sekolah menepuk pundakku pelan, aku tersenyum tipis,

melihatnya seperti melihat diriku sendiri.

"Eh?" Gumamku terkejut.

"Bisa geser? aku mau ambil foto heheh" ucapnya lagi dengan wajah ceria, aku tersenyum tipis dan menggeser dudukku.

Melihatnya yang begitu bersemangat mengambil foto pria di depan sana, "apa kamu begitu menyukainya?" tanyaku tanpa sadar.

Gadis itu menoleh ke arahku dan mengangguk semangat.

"Tentu! dia sangat tampan seperti pangeran yang keluar dari dalam buku dongeng" balasnya yang masih fokus pada layar handphonenya, memotret pria itu.

"Tapi, pangeran tidak pernah hidup bahagia di dalam istana. Dia begitu tersiksa dengan segala jenis tugasnya, bahkan, jika dia benar-benar bisa keluar dari buku dongeng, pangeran malang itu pasti akan tersesat di dunia ini" gumamku pelan menatapnya sendu, pria itu tersenyum ceria padahal semalam dunia membuat dirinya hancur. 

"Apa? kakak bilangan sesuatu?"

"Ha? Oh itu, benar dia seperti pangeran" jawabku tersenyum tipis.

"Benar kan, dia benar-benar sangat tampan!"

Di dunia yang bising ini, manusia seperti dua mata pisau, yang satu bisa begitu menghancurkan lalu yang satu lagi bisa menumbuhkan.

°°°

"Kenapa?" tanyanya melihatku memiringkan kepala sambil tersenyum manis.

"Kamu aneh" ucapnya lagi dengan sebelah alis terangkat.

"Kamu tampan" balasku masih tersenyum manis menatapnya dengan lekat.

Sudut bibirnya terangkat pelan "kamu mabuk?" aku menggeleng kepala cepat.

Pria itu terkekeh kecil melihat tingkahku.

"Kamu gemesin"

Aku mengangguk-angukkan kepala "aku tau" jawabku dengan percaya diri.

"Sini" ucapku sambil menepuk-nepuk sofa kosong di sampingku.

Tanpa mengatakan apa pun pria itu menuruti perintahku, menyilangkan kakiku dan menyuruhnya mengikuti cara dudukku.

Kita berdua duduk berhadapan, untuk beberapa menit yang tanpa kata, begitu hening, namun menyenangkan, dan juga tenang.


"Terimakasih" ucapku memulai percakapan, dengan pelan aku mengelus alisnya yang tebal namun rapi itu.

"Untuk apa?" Tanyanya sambil mengerutkan keningnya.

Aku terdiam sejenak, menatapnya dengan hangat, berharap pria di hadapanku ini sadar betapa bersyukurnya aku memiliki dirinya di duniaku yang gelap ini.

"Untuk sudah mau terlahir di dunia yang gelap ini" tanganku turun mengelus kerutan di panggal hidungnya, menatap hidung yang tidak begitu lancip namun terlihat pas di wajahnya.

"Untuk menjadi cahaya dalam hidup seseorang yang ingin menyerah tanpa merasa lelah" kedua matanya terpejam saat tanganku menyentuh bulu matanya yang terasa halus juga lembut, membuatku tersenyum tipis.

"Dan, terimakasih untuk semua kerja keras juga senyuman hangat yang selalu bisa aku lihat bahkan saat kamu sendiri sedang hancur" lanjutku.

Pria itu membuka matanya dan menatapku dalam, begitu lekat dan pekat, seakan mengatakan.

"Terimakasih sudah mengatakan semua itu."



2021
Diary for my Angel

End of a Day | SELESAI Where stories live. Discover now