🍃34~Perdebatan🍃

31.4K 4.4K 213
                                    

🍃 Happy Reading 🍃

Brakk

Alvin menutup pintunya dengan keras lalu menguncinya.

Ia meremas rambutnya sendiri. Rasanya ia ingin teriak, ia ingin marah tapi tak tahu pada siapa.

"Arrghh!!" Alvin melempar semua buku di meja belajarnya. Ia juga mengambil gelas yang ada di atas nakas dan membantingnya.

Ia tak peduli dengan Alvan yang mengetuk pintu kamarnya. Ia lelah, sangat lelah.

Ucapan Dokter Tama tadi seolah berputar di pikirannya.

"Alvin, akhir akhir ini pola makan kamu nggak teratur, kamu juga sering nggak minum obat dan kurang istirahat. Kamu juga nggak mau jalani kemoterapi ataupun pengobatan lain."

"Penyakit kamu sudah sampai stadium akhir. Kalau begini terus ...." Dokter Tama menjeda ucapannya. Sangat berat untuk mengatakannya.

Tama menghela napasnya. "Kalau begini terus, kondisi kamu bisa semakin buruk. Juga, harapan untuk hidup semakin kecil."

"Berapa lama lagi saya bisa hidup?" tanya Alvin.

"Jangan tanya itu. Saya nggak bisa, Alvin." Tama tak ingin mengatakannya, ia sendiri merasa sangat sakit melihat Alvin.

"Berapa lama lagi?" Alvin tetap mengulangi pertanyaannya.

"Kamu benar-benar ingin tahu?"

Alvin mengangguk pelan.

"Empat bulan."

DEG

Bahu Alvin merosot, nafasnya tercekat. Tapi sebisa mungkin ia menguatkan dirinya sendiri.

"Alvin, kamu jangan terlalu memikirkan perkiraan ini. Saya hanya manusia, hidup dan mati seseorang ada di tangan tuhan," ucap Tama.

Cowok itu terduduk di lantai, ia bersandar di pinggiran ranjang. Nafasnya memburu, matanya memerah akibat menahan air mata yang ingin keluar.

Ia begitu hancur, tatapannya beralih ke laci nakas.

Dengan tangan yang bergetar, ia membuka laci tersebut dan mengambil botol berisi obat tidur.

Tak hanya sebutir atau dua butir, tapi ia menumpahkan obat tidur itu ke telapak tangannya.

Saat ia akan memasukkan semua obat itu ke dalam mulutnya, tiba tiba pintu terbuka oleh Alvan.

"Alvin!"

Alvan langsung menepis tangan Alvin yang akan memasukkan banyak obat tidur ke dalam mulut hingga obat itu berceceran di lantai.

"Vin, sadar! Lo nggak boleh kayak gini!" ucap Alvan memegang kedua bahu Alvin.

Jika saja Alvan terlambat menghentikan Alvin, lalu terjadi sesuatu pada saudara kembarnya, ia tak akan memaafkan dirinya sendiri.

Alvin yang tadinya menatap lantai beralih menatap seseorang yang serupa dengannya. Alvan bisa melihat dengan jelas sorot terluka di sana.

"Gue capek, Van!" ucap Alvin.

Sama tapi Berbeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang