Meet You

15 0 0
                                    


Anak-anak berduyun memasuki gerbang sekolah tatkala bel berbunyi. Beberapa orang tua masih sibuk menciumi putranya tak ikhlas berpisah walau hanya untuk beberapa jam saja. Salma menuntun Sava masuk ke sekolah barunya. Seperti ibu pada umumnya, ia khawatir jika putrinya menangis atau takut dengan orang baru. Ternyata semua salah, ia bertemu guru yang dilihat dari sikap luar akan menyenangkan.

"Ayo sana!" tangan kecil itu masih saja menarik ibunya agar ikut sekolah. "Ibu harus kerja, sayang." Salma berjongkok dan merapikan jilbab putrinya. Salah seorang guru mendekat dan membimbing Sava masuk. Ia terus meronta walau akhirnya menurut juga.

Salma berdiri dan mulai pergi bersama Amir. Rutinitas baru akan dimulai. Amir berada di kelas 1 SD dan ia sendiri mengajar di kelas 5 dengan sekolah yang sama. Banyak yang berbeda dari prosedur pembelajaran. Di kota, biaya apapun lebih tinggi dibanding sewaktu di desa. Salma sempat berpikir keras untuk beberapa tagihan yang ia harus keluarkan. Sampai pada akhirnya ia bertemu seorang kawan lama dan membantunya berjualan online sebagai sampingan.

"Kita banjir orderan nih!" Satu pesan dari Reva. Mereka berdua menjual makanan ringan dengan varian bermacam-macam.

"Selepas dari sekolah kita proses bersama." Salma tersenyum melihat isi pesan temannya. Mereka tinggal di kontrakan yang bersanding. Ia adalah seorang istri dengan 1 anak yang ditinggal kerja suaminya ke luar negeri. Hidupnya masih jauh lebih manis dari Salma.

Pembelajaran telah berakhir. Salma mulai mencari-cari dimana putranya berada selepas menjemput Sava di sekolahnya. Kelas terlihat kosong. Jam dinding menunjukkan setengah jam lebih setelah bel pulang berbunyi.

"Dimana Amir." gumamnya.

"Bu Salma, Amir nangis di barat gedung sekolah." seorang murid dari kelas itu berlari kearah Salma seraya menunjuk suatu arah. Sontak mereka bergegas mencari dimana Amir berada.

"Ada apa, Amir?" tanya Salma setelah menemukannya di balik pohon sambil sesenggukan.

"Hiks hiks hiks." tangisnya pecah. Ia masih tak mau membuka wajahnya yang menunduk di lutut yang ditekuknya.

"Kakak kenapa bu?" tanya Sava polos. Salma memberikan makanan pada Sava dan memintanya duduk.

"Amir marah sama ibu?" tanya Salma lagi. Tak mendapat respon juga. "Amir mau apa? Katakan pada ibu. Jika tidak mana ibu tahu apa yang kamu tangisi?" Anak itu mulai berhenti mengeluarkan tangisan. Ia mendongak dan menatap ibunya.

"Ayah!" desisnya. Ada perasaan kesakitan luar biasa dalam dada Salma. Saat mengetahui tangisan putranya ini karena perasaan rindunya pada sang ayah. Ia lantas merangkul Amir dengan erat. Air matanya jatuh berderai. Disisi lain Sava masih nyaman dengan snack yang dibawa dari rumah.

***

Beberapa hari setelah itu, Amir jatuh sakit. Demam tinggi dan tubuhnya menggigil. Bibirnya terus menyebut nama ayahnya. Salma mulai kebingungan. Ia ingat benar kejadian saat itu selepas tangis Amir pecah.

Kilas balik menunjukkan, Salma membawa kedua anaknya ke kediaman Hermawan. Ia sempat bertemu sahabat baiknya, Edo.

"Aku ingin marah padamu. Bagaimana kau ke kota tanpa mengabari aku! Dimana kau tinggal?" cecar Edo.

"Aku tinggal di kontrakan di gang Madura." jawabnya. Ia memeluk Fani dan mencium putrinya yang sudah semakin besar.

Edo menceritakan apa yang terjadi saat Salma berlalu pergi bertahun-tahun. Selama kepergiannya, Edo tak pernah memberikan informasi tentang Umar karena Salma memang tak ingin mendengar. Salma mengutarakan niatnya menemui Umar kembali, tetapi Edo menyarakan agar menitipkan kedua anak itu bersamanya agar jika sewaktu-waktu ada kejadian tak terduga. Salma setuju. Edo membawa Amir dan Sava bersamanya.

Abiwara Herdaya [ON GOING]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora