BAGIAN 19

29 8 56
                                    

Hallo readers!!
Masih semangat?
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1442 H
Maafin mimin ya lama up nya eheheh

~ Kehidupan tak lepas dari adanya masalah. Entah dari diri sendiri maupun orang lain. ~

Umar P.O.V

Di sepanjang jalan, aku hanya memikirkan bagaimana cara agar gelang itu kembali. Pesan dari Ira begitu menohok hatiku. Bagaimana raga ini berpisah dari jiwanya sendiri? Salma, mungkin ia memiliki solusi.

Aku merogoh ponsel dalam tas. Sesekali mataku melihat layar ponsel dan jalanan. Aku bersyukur sekali, signal di pinggiran kota sudah mulai lancar. Aku terkejut, saat ponsel itu bergetar banyak kali hingga terlempar.

"Salma!" aku segera berhenti. Banyak pesan dari beberapa keluargaku. Mereka berusaha agar aku segera pulang untuk Salma yang sedang terluka.

"Hallo." segera tak sabar aku untuk mendengar kabarnya secara langsung.

"Aku tidak apa-apa." suara dari seberang mengindikasikan kecelakaan itu lumayan parah. Salma terdengar serak dan layak menahan sakit.

"Aku akan segera pulang." kumatikan sambungan dan kembali ambil kemudi. Jalanan yang sepi membuatku cepat sampai rumah.

Tak ada aktivitas apapun di rumah. Malam sudah begitu larut, kemungkinan mereka sudah lelap. Aku bergegas menaiki tangga menuju ke kamar. Amir lelap dalam dekapan ibunya. Rambutnya terurai dengan ikatan kain kaca di puncak kepalanya. Tangan kirinya penuh lebam dan luka menganga. Pemandangan yang mengharukan, aku terharu melihat wanita itu tidur dengan senyum manisnya.

Aku menarik selimut agar menutup tubuh dua orang tercinta. Tak mau mengganggu istirahatnya, aku melangkah menjauh. Satu langkah, sesuatu menahan lenganku. Salma bangun dan menyentuh pipiku agar tak menangis lagi. Aku tak kuasa segera memeluknya erat.

"Apa ini?" Salma melotot heran. Aku hanya tersenyum dan menggendongnya menuju ke balkon.

"Makan malam." ucapku tanpa mengindahkan pemberontakannya. Salma mendengus seperti tak setuju, karena terdengar olehku.

"Hm, baiklah kali ini saja. Berat badan kita bisa terus bertambah jika seperti ini terus menerus." ceramah Salma tentang berat badan menjadi siaran ulang hampir setiap hari. Aku tak memperdulikannya dan tetap sibuk menyiapkan meja dan makanan. Salma duduk di kursi tanpa bisa bergerak membantu sebab kaki dan seluruh tubuhnya masih sakit.

"Ini!" aku menjejalkan secuil martabak ke dalam bibirnya. Ia melotot tajam pasti hendak mengomel dengan pengeras suara. "Hush. Nanti Amir dan lainnya bangun." aku membekap bibirnya agar tak bersuara. Ia berusaha menelan martabak itu dan mengusir tanganku dengan keras.

"Aw!" pekiknya. Lukanya seperti menyengat tetiba. Azab kali ya, batinku.

Kami berdua tertawa bersama dalam sunyi sepi. Awan hitam dan sebongkah bulan menyinari alam yang gelap. Cahaya listrik semua padam, tinggal sorotan hati yang mampu menerangi jalan cinta. Aku menyentuh pipi Salma yang blepotan coklat dari martabak. Ia tak menyadari hal itu.

"Itu." aku berusaha memberi tahunya bahwa bibirnya di coret-coret manis oleh coklat. Ia malah bingung dan terus bertanya apa maksudku.

"Kau ini memang payah." aku menyentuh bibirnya dengan lembut. Noda coklat itu tersapu oleh jari telunjukku. Salma menikmati situasi itu, sembari memejamkan mata. Jariku mulai kaku merasakan ciuman dari Salma. Aku memintanya membuka mata. Manik mata kami bertemu. Cinta itu membutakan benar. Cinta melelehkan batu keras benar. Cinta ini tak mungkin kubiarkan pergi. Rasa yang dalam, hati yang terikat, dan jiwa yang satu.

"Kau bilang aku payah, bukan?" tanyanya. Setelah sesaat kami berpelukan di balkon menatap canvas jagad yang semakin pekat, ia sadar akan kalimatku sebelumnya. Kupikir ia tak mendengar, ternyata...

Abiwara Herdaya [ON GOING]Where stories live. Discover now