15. NAPAS RINDU

64 32 196
                                    




~ Melihat orang yang sangat kita cintai tersenyum membuat kita lupa duka yang melanda ~


Bijaklah dalam memilih bacaan.
Konten sedikit dewasa.

"Tidak tidak, bagaimana aku memulainya? Hm.." gumam Salma. Ia bergulat dengan perasaannya sendiri. Beberapa hari berlalu dan keadaan masih sama. Salma masih ragu melakukan apa yang diminta Edo. Ia merasa gugup setiap Umar mendekatinya. Dan akhirnya GAGAL.

"Jika aku yang memulai, pantaskah? Ah tidak, biar dia saja. Aku akan menunggu saat itu tiba lagi. Tapi kapan? Kenapa aku jadi yang ingin sekali.." desisnya kemudian setelah beberapa saat berdebat dengan diri sendiri. Ia seperti mendapatkan kekuatan untuk bisa tahan dengan sentuhan-sentuhan itu.

Pagi ini akad nikah Alin dan Dion. Setelah berapa lama Salma melihat kebaikan Dion dan ketulusan hatinya untuk berubah. Ia haru melihat prosesi pernikahan adik iparnya. Alin mengenakan pakaian adat jawa lengkap dengan jilbab yang dibentuk rapi. Ia juga mengenakan mahkota pengantin sama seperti yang Salma kenakan dulu.

"Kau cantik sekali." bisik Salma ditelinga Alina. Pengantin itu tersipu malu.

"Kakak ipar, kau harus menemaniku." ujar Alin. Salma memegang tangannya.

"Tentu." desisnya. Salma mengedipkan mata sebelah kiri. Alin memeluknya.

Ibu datang menggendong Pari dalam pelukannya. Ia bergumam kemudian tertawa bersama Alin. Samar - samar Salma mendengar jika ibu juga menginginkan cucu dari putranya sendiri. Salma tersipu dan gugup ketika ditanya sudah pernah dites atau belum.

"Belum bu hehe" ujarnya sembari cengengesan. Ia meraih Pari dan menyingkir dari jeratan pertanyaan seperti itu.

Salma duduk di belakang rumah sembari menyuapkan botol susu ke dalam mulut Pari. Bayi kecil ini sangat cantik seperti ibunya yang juga banyak memikat lelaki. Salma mengharap dalam doa hatinya agar bayi itu berada dalam jalam kebaikan seperti ayah dana ibunya saat ini. Ia juga membayangkan kelak akan menggendong keturunannya sendiri. Merawat dan mengasuhnya dengan sepenuh hati, sehingga anak itu menjadi pribadi yang baik dan menjadi teladan.

"Kau disini. Terimakasih telah menjaga Pari. Berikan padaku supaya kau bisa segera menyiapkan diri." ujar seorang pria dengan suara serak di belakangnya. Ia meraih Pari dan membawanya masuk untuk menemui tamu.

Acara akan dimulai pukul 10.00 WIB. Salma masib duduk di depan cermin sembari memikirkan kalimat Edo kemarin - kemarin di telepon. Ditambah lagi dengan ucapan ibu tadi. Batinnya mengatakan jika ia juga menginginkan hubungan itu, tetapi resiko itu terlalu besar sampai ia lupa tugas itu sangat penting. kkalutan Salma berlangaung selama satu minggu lebih. Selama itu pula Umar masih saja sering kejang - kejang, menggigil, mengacak - acak diri, dan barang tentu sering merayu Salma. Tetapi, perasaan Salma saat itu belum seperti ini.

"Apa yang harus kulakukan Tuhan agar setidaknya kutukan pada Umar hilang dan keturunan kami lahir dengan baik dan menjadi pribadi yang baik?" desisnya. Ia menangis tersedu dan menatap dirinya sendiri di cermin.

"Akan aku pikirkan itu nanti saja." gumamnya. Ia merapikan make upnya dan mengoleskan hand body pada kaki dan kedua lengannya. Tak lupa ia mengoleskan lipstik merah padam pada bibirnya agar wajahnya terlihat hidup. Setelah selesai, ia ngikat rambutnya yang masih berantakan dengan sisir.

"Air suci ini." desisnya. Ia hampir saja menyenggol. Jika ia ceroboh maka ia akan kehilangan butiran air itu. Atau Edo akan memarahinya jika harus meminta air itu lagi padanya.

Salma meletakkan botol itu dan kembali merias dirinya. Ia berdiri dan berbalik ke belakang dengan tujuan melihat resleting bajunya di cermin.

"Astaga sampai bawah sekali. Ini akan sulit. Urusan begini saja aku tidak bisa." ia memaki dirinya sendiri. "Nanti saja, aku akan meminta ibu merapikan resletingku." lanjutnya. Ia duduk kembali di kursi rias sambil menatap wajahnya.

Abiwara Herdaya [ON GOING]Where stories live. Discover now