08. Delight

248 61 47
                                    

Saddam berjalan pelan sehabis dari ruang ekskulnya. Setoran hafalannya hari ini sudah selesai. Dia dalam perjalanan kembali ke kelasnya. Helaan nafas panjang nan berat selalu keluar saat ingatannya tentang Haidar dan segala kekayaan anak itu menghampiri kepalanya.

"Bisa gila."

Saddam mengacak rambutnya. Sungguh, baru kali ini dia dipermalukan sedemikian rupa sampai ingin hilang dari muka bumi.

Kalau dipikir-pikir Saddam yang salah karena menyimpulkan kemiskinan Haidar sesukanya sendiri.

Bah! Haidar tidak mampu bayar uang kas? Ingatan Saddam berlari ke kejadian di mana dia menyarankan Haidar untuk membayar kas kategori 1 dengan wajah iba. Haaaaaa, yang patut diberi tatapan iba itu dirinya, Saddam, bukan Haidar. Seorang Haidar bahkan mampu membayarkan seluruh kas anak sekelas setahun penuh. Uang 50 ribu bisa jadi hanya selembar kertas yang Haidar gunakan untuk mengelap keringat.

Dan satu lagi, perihal bolpoin pusaka milik bapaknya. Ternyata yang dimaksud Haidar itu bolpoin limited edition yang hanya ada satu di dunia yang dibuat langsung oleh seniman asal Yogyakarta sebagai hadiah untuk Bapak Herawan Wibisana Soesanto.

Memalukan. Saddam sangat malu.

"Tuhan, hilangkanlah ingatan hamba."

Pagi ini saja Saddam sangat kagok dengan keberadaan Haidar. Sangat canggung rasanya. Bernafas di sebelah Haidar saja rasanya salah, seperti Saddam mencuri oksigen berharga dari orang mulia. Kehancuran mental yang sangat rusak.

Bagaimana ini?

Bagaimana Saddam akan bertahan hidup dan melanjutkan sekolahnya di saat ada Tuan Muda Haidar di sebelahnya?

"...dy!"

"...NDY!"

"RENDY! WOY BUDEG!"

Saddam tersentak. Seseorang berteriak di telinganya. "Berisik!"

"Hehe, abisnya lo bengong aja. Dipanggil dari tadi nggak nengok sama sekali. Sorry."

"Ngapa sih manggil-manggil?"

"Abis dari mana, Ren?" Azahra bertanya, mensejajarkan diri di sebelah Saddam.

"Dari ruang ekskul."

"Oooh gitu, terus sekarang mau ke mana?"

"Nggak tau mau ke mana."

"Gimana kalo ke hati gue aja?" tanya Azahra pelan.

"Lo ngomong apa?

"Itu, lo nggak ke kelas?"

Haaaa, helaan nafas panjang nan berat kembali terdengar. Saddam tidak ingin kembali ke kelas. Haidar pasti sedang duduk manis di kursinya. Itu menyebalkan.

"Nggak mood balik ke kelas."

"Kok?"

Saddam berhenti berjalan. Tubuhnya dia sandarkan pada pembatas pagar lantai dua. Melihat ke bawah memandangi lapangan upacara yang luas.

"Za, lo tau Haidar temen sekelas gue?"

"Iya tau, si anaknya menteri itu kan?"

Saddam makin menunduk dalam setelah mendengar jawaban Zahra. Tuh kan, perempuan yang hobinya haha hehe saja tahu Haidar anaknya Pak Menteri yang itu, padahal beda kelas juga, tapi tahu. Lah Saddam apa kabar?

"Kenapa nanya?" Zahra berdiri memandangi Saddam yang auranya sekarang sedang gelap sekali. Ada apa dengan Rendy?

"Kok gue nggak sadar ya Haidar anaknya Pak Herawan? Padahal gue satu kelas, padahal gue duduk sebangku sama dia, kok gue nggak tau? Mana gue jahat lagi ke dia, ini gue harus gimana ke Tuan Muda itu?"

From Me, Your NeverlandWhere stories live. Discover now