12

25.3K 1.3K 17
                                    

-
-
-

Embun sampai dengan tergesa-tergesa lalu dia mengetuk pintu ruangan kepala sekolah, "Permisi." ucap Embun.

"Ya silahkan masuk."

Begitu di persilahkan, Embun segera masuk, disana seorang pria paruh baya yang terlihat masih segar tersenyum padanya.

"Ada apa ya pak?" tanya Embun yang kini berdiri di depan meja kepala sekolah yang bernama Hans.

"Embun, apa ponsel kamu sedang tidak aktif?" tanya Hans.

Embun mengangguk, "Iya pak, tadi saat pelajaran tidak boleh membawa ponsel. Semuanya sedang dikumpulkan." jawab Embun, seketika dia masih teringat ponselnya yang masih berada di atas meja guru.

Hans mengangguk paham karena guru yang mengajar saat ini adalah bu Dara, dia sangat suka menyita ponsel semua murid agar fokus dengan pelajaran. "Ada kabar tentang ayahmu." ucap Hans.

Wajah Embun langsung pucat, jantungnya berdebar sangat kencang, "Ayah? Ada apa pak?" tanya Embun.

Hans menghela nfas berat, "Lebih baik kamu segera bergegas ke rumah sakit, keadaan ayahmu semangkin kritis." jelas Hans, tadi dia mendapat telpon dari orang yang menjaga Aditya agar menyuruh Embun datang.

"Apa?!" kaget Embun.

"iya, tadi saya dapat kabar dari orang yang menunggu di sana. Katanya kamu tidak bisa dihubungi makanya beliau menelpon ke selolah." jelas Hans.

"Terima kasih pak, saya permisi." ucap Embun, dia segera berlalu, "Tuhan, semoga semua baik-baik saja." Do'a Embun dalam hati, dia segera berlari meninggalkan area sekolah untuk mencari taxi.

Di ujung koridor, Langit baru saja turun dari roftop setelah membolos bersama Dellon. Dia penasaran ketika melihat Embun berlari dengan membawa tas lalu mengejarnya.

"Mau ke mana lo?" tanya Dellon tapi Langit tidak menjawab. Mengikuti arah pandang Langit, Dellon mendengus,

"Dasar bucin." cibir Dellon lalu dia berbelok menuju kantin untuk mengisi perutnya meskipun semua orang tengah sibuk belajar di dalam kelas.

"Embun!" panggil Langit.

"Embun!!" panggilnya lagi karena Embun sama sekali tidak menoleh lalu dia menarik tangan Embun, "Lo mau ke mana?" tanya Langit.

"Lepasin, gue buru-buru." ucap Embun tetapi Langit tak melepaskan Embun begitu saja dengan mudah.

Langit mengernyit, "Hei, lo nangis? Kenapa?" tanya Langit karena wajah Embun sudah berurai air mata tangannya gemetaran dan dingin.

Embun menggeleng, "Ayah gue, Lang. Ayah gue kritis." isak Embun.

"Ayo gue anter." ucap Langit dia menarik Embun pelan dan membawanya ke parkiran untuk mengambil motornya.

-
-
-

Embun dan Langit sampai di depan ruang UGD, di sana sudah menunggu orang yang di perintahkan untuk menjaga Aditya.

"Paman gimana keadaan ayah?" tanya Embun.

"Masih kritis nona, dokter sedang memeriksa di dalam sana."

Embun bersandar di tembok, tenaganya seperti hilang entah ke mana, air matanya juga perlahan turun tanpa di minta, Langit meraih tangan Embun dan menggenggamnya erat, "Semua akan baik-baik aja, oke." ucap Langit

"Gue takut Lang." lirih Embun, Langit menarik Embun lalu memeluknya, membiarkan Embun menagis dalam dekapannya.

"Embun."

Embun langsung melepas pelukan Langit begitu mendengar suara bariton seseorang, "Paman Bara." ucap Embun.

"Bagaimana?" tanya Bara.

"Dokternya masih di dalam." jawab Embun.

"Bersabar ya nak." ucap Bara dia mengusap pucuk kepala Embun dan menatapnya sayang.

Mereka menunggu dengan cemas di sana, sedangkan Langit hanya diam memperhatikan Embun yabg berdiri di sampingnya. 30 menit kemudian dokter keluar dan mereka segera menghampiri dokter itu.

"Dokter bagaimana keadaan ayah saya?" tanya Embun.

"Pasien tidak bisa diselamatkan." ucap sang dokter.

bruk

"Embun." kaget Bara ketika Embun langsung bersimpuh di lantai sedangkan Langit dengan sigap manahan tubuh Embun.

Embun menggeleng, "Nggak mungkin, ayah nggak mungkin pergi ninggalin Embun. Ayah!!" tangis Embun pecah,

"Embun." lirih Langit, dia kembali memeluk Embun berusaha menjadi sandaran untuk perempuan yang sangat dia cintai.

"Ayah." Embun menagis pilu di pelukan Langit, dia mencengkram kuat punggung Langit menumpahkan semua rasa sakit karena kehilangan satu-satunya kelurga yang dia miliki.

"Ayah."

-
-
-

Acara pemakaman dilaksanakan sore itu juga, Embun masih saja berada di pusaran Aditya meskipun prosesinya sudah selesai dan menangis di pelukan Langit.

Sahabatnya juga datang setelah mendengar kabar itu, Fani menatap Embun dan Langit keheranan dan Laura hanya bisa diam sembari mengepalkan tangan.

Fani melirik Dellon seolah ingin tau apa yang terjadi di antara sahabatnya dan Langit, Dellon mendekat lalu berbisik pada Fani. "Nanti aku jelasin." ucap Dellon, dia mengangguk seolah mengisyaratkan Fani untuk pulang.

Fani menoleh pada Laura dan menggenggam tangannya erat, "Ayo kita pulang." ajak Fani.

Laura menghela nafas lalu mereka semua meninggalkan Langit dan Embun di sana.

"Ayo Mbun pulang, udah mau gelap." ajak Langit.

"Embun pamit ya, Yah. Nanti Embun datang ke sini lagi." ucap Embun kemudian dia berlalu dari sana bersama Langit.

Langit mengantarkan Embun sampai depan rumahnya, "Makasih ya Lang." ucap Embun.

Langit mengangguk, "Ayo masuk."

"Lo, pulang aja, nggak enak sama tetangga, udah mau malem juga." tolak Embun.

Langit menghela nafas, meski berat tetapi dia ingin memberikan ruang pada Embun. "Gue balik, kalau ada apa-apa telpon gue. Ini ponsel lo." ucap Langit sembari menyerahkan ponsel Embun yang di titipkan Laura tadi padanya.

"Thanks."

-
-
-

DAMN'IT FIANCE || endWhere stories live. Discover now