06

33.2K 1.5K 16
                                    



EMBUN sampai di rumah, dia membuka sepatunya dan melempar asal kemudian langsung duduk bersandar di sofa sembari manarik nafas dalam. Embun memijit pelipisnya yang sedikit pusing lalu memperhatikan keadaan rumahnya yang sama sekali belum tersentuh sejak awal dia pindah.

"Berantakan banget." keluh Embun.

Embun merebahkan tubuhnya di sofa, membuka kancing bajunya lalu mengipasi wajahnya dengan tangan. Mata Embun terpejam, dia sangat lelah dan ingin istirahat. Tetapi baru beberapa detik saja Embun kembali membuka matanya dan duduk. 

"Nggak ada waktu, gue harus ke rumah sakit." gumam Embun, dia pergi ke kamarnya untuk membersihkan diri dan bersiap.

Outfit yang Embun gunakan sore itu sangat santai, celana jeans 3/4 denim, tshirt navi, cardingan, kets putih, dan tas slempang berukuran kecil kesayangannya. Rambut hitamnya dia kucir kuda, memakai makeup seadanya dan lip berwarna pink untuk bibir tipisnya. Embun tersenyum puas, mengabaikan kamarnya yang kacau dia segera pergi ke rumah sakit menggunakan bis.

"Sore ayah." sapa Embun saat sudah sampai di ruangan Aditya di rawat. Meskipun pria itu belum sadar, Embun selalu mengajaknya berbicara.

Embun mengecup pipi Aditya lalu menyalimi tangannya, menaruh tasnya di nakas kemudian duduk di samping brangkar lalu menatap ayahnya sendu. 

Tangan Embun terulur mengusap wajah Aditya yang pucat, "Apa kabar ayah." lirih Embun, matanya kini sudah berkaca-kaca karena menahan tangis.

"Cepat sembuh ya. Biar Embun bisa masakin ayah. Ayahkan udah janji mau makan masakan buatan Embun dan makan sama-sama."

Embun kembali mengingat hari di mana Aditya terkena serangan jantung dan dibawa ke rumah sakit. Sebelum pergi ke kantor, Aditya berjanji akan makan malam bersamanya dan menyuruh Embun masak yang enak. Tetapi sepertinya hal itu harus tertunda entah sampai kapan.

Embun mengusap air yang ada di sudut matanya, dia tidak ingin berikap lemah di depan Aditya. Embun juga tidak mau Aditya tau apa yang dia alami sekarang karena Embun yakin jika Aditya mendengar semua ucapannya meskipun ayahnya belum membuka mata.

Embun berpindah duduk di sofa lalu merebahkan tubuhnya di sana, matanya terpejam sembari memikirkan ucapan Eric tadi,

 "Apa yang harus gue lakukan." batinnya.

"Apa gue terima aja ya." gumam Embun, dia beranjak lalu mengambil ponselnya di atas nakas.

Embun mencari nomer Eric di sana, menatapnya lama sembari berpikir. "Jika tidak seperti ini, Nanti saat ayah sadar, dia akan terbebani masalah hutang." batin Embun lalu dia menggeleng, "Tidak. Ayo berjuang, hanya setahun kok." tekad Embun, dia beranjak dari duduknya lalu berjalan keluar. 

Sebelum menutup pintu ruangan, dia menatap ayahnya sembari tersenyum kemudian pergi ke taman rumah sakit untuk menelpon Eric.

Disisi lain, Setelah terjadi percakapan panjang, Eric bersikap cuek melihat Langit mondar mandir dengan gelisah. Mengusap wajahnya kasar lalu kembali berdiri di depan Eric, mengebrak meja kerjanya dengan keras dan matanya menatap Eric tajam.

"Apa!" sinis Eric.

"Aku tidak mau tunangan." protes Langit.

DAMN'IT FIANCE || endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang