13

24K 1.2K 16
                                    

-
-
-

Embun perlahan mengerjapkan matanya ketika merasakan sentuhan hangat yang membelai pipinya. tetapi begitu Embun membuka mata, dia langsung kaget. "Aarghhh." teriak Embun karena ada Langit duduk di samping ranjangnya.

Langit langsung menahan tangan Embun dan membekap mulutnya, "Lo pagi-pagi mau bikin heboh tetangga?" tanya Langit.

Embun menggeleng lalu Langit melepaskan bekapannya, "Ngapain lo di sini?!" sinis Embun, dia segera beranjak duduk menjauhi Langit.

"Liatin lo."

Embun melirik jam dinding, sudah jam 8 lebih, "Lo nggak sekolah?" tanya Embun.

"Bolos." jawab Langit santai.

"Jangan suka bolos, belajar yang benar." sindir Embun.

"Gue khawtir sama lo." jawab Langit, dia menatap teduh Embun, berusaha menyalurkan rasa hangat di hatinya. Semalam Langit tidak bisa tidur memikirkan Embun yang sedang sedih di rumah sendirian.

"Nggak perlu. Gue baik-baik aja." jawab Embun, di beranjak dari tempat tidur membuka gorden yang masih tertutup.

Langit menghela nafas, dia tau Embun sedang tidak baik-baik saja, Tiba-tiba Langit memeluk Embun dari belakang, "Mata lo sembab, nangis berapa jam kemaren?" tanya Langit.

Perilaku Langit membuat Embun tersentak kaget, "Apa sih. Sana sekolah!" ucap Embun, dia melepaskan pelukan Langit dan berbalik menatapnya.

Langit tersenyum, "Sip. Gue berangkat dulu." ucap Langit lalu mengusap pucuk kepala Embun.

Biasanya cewek akan luluh jika diperlakukan seperti itu, tetapi Embun mendengus, "Modus." kesalnya lalu merapikan anak rambutnya.

-
-
-

Langit menatap tembok pembatas sekolah yang menjulang lumayan tinggi. Dia mencari tangga yang biasa digunakan para murid yang terlambat atau untuk membolos lalu memanjatnya.

Berhasil, Langit mendarat dengan sempurna lalu dia berjalan menuju belakang sekolah untuk menghindari guru yang sedang berpatroli. Sudah hampir jam istirahat, pastinya gerbang sudah ditutup. Niatnya ingin membolos dia urungkan karena merasa mendapat motivasi dari Embun.

Langkah Langit memelan ketika mendengar suara samar yang dia kenal. Begitu berbelok, tentu saja Langit langsung melihat pemilik suara itu, dia Laura sedang merokok bersama Andri--cowok yang katanya dulu pernah menyukai Laura.

"Lang! Lo terlambat juga." tanya Andri ketika Langit melewati mereka begitu saja, seperti tidak ingin melihat keberadaan Laura di sana.

Laura juga terlihat sangat canggung dan menunduk, biasanya begitu melihat Langit, dia langsung merangkul manja lengan Langit dan mengikutinya ke mana pun.

"Hmm."

"Sini gabung. Nanggung kalo masuk kelas, ntar lagi juga bel istirahat." ajak Andri.

Langit menoleh, dia menatap sinis Laura yang menunduk, "Lo aja. Gue sibuk." jawabnya kemudian berlalu.

Begitu Langit menjauh, Laura langsung menghela nafas lega karena tadi terasa sangat sesak. Tatapan Langit juga membuatnya sakit hati.

"Lo beneran putus sama dia?" tanya Andri yang sejak tadi memperhatikan Laura, dia ingin memastikan langsung kabar heboh yang mengatakan jika Langit memutuskan semua pacarnya termaksud Laura.

"Hmm." jawab Laura malas.

"Jadi?"

"Jadi?" bingung Laura.

"Ada kesempatan buat gue?" Andri menatap Laura penuh harap, ini ketiga kalinya dia menyatakan cinta pada Laura meski tau gadis itu tidak pernah memiliki rasa untuknya. Tetapi Andri tetap berharap jika suatu saat Laura mau menerima cintanya.

"Sorry ya, Ndri. Gue belum bisa sekarang." Lalu Laura mengusap surai hitam milik Andri dan tersenyum.

"Oke, nggak apa-apa kok."

-
-
-

Laura berjalan menuju kelas bertepatan dengan bel istirahat yang berbunyi. Dia langsung duduk di bangkunya dengan memangku tangan di atas meja.

"Lau." panggil Fani yang kini menarik kursinya agar mendekat pada Laura.

Laura melirik Fani dan menaikan satu alisnya seolah bertanya menggunakan tatapan mata.

"Dari mana?" tanya Fani.

"Biasa." jawab Laura santai.

"Lo, beneran nggak apa-apa?" tanya Fani dengan raut wajah khawatir.

Dellon sudah memberitahukan semuanya tentang perasaan Langit dan hubungan mereka saat ini tanpa membawa masalah taruhan yang mereka lakukan untuk menghindari kemaran Fani terhadapnya.

"Apanya?" bingung Laura.

"Embun sama Langit."

Laura tersenyum menyembunyikan perasaan di hatinya yang sedikit masih sakit dan belum terima. Tetapi dengan kondisi Embun saat ini, dia yakin Embun membutuhkan sandaran meskipun itu Langit si brengsek.

"Langit udah bilang kok sama gue." jawab Laura berusaha santai.

"Lo yakin nggak, Langit nggak bakal macem-macemin Embun." tersirat kekhawatiran di wajah Fani.

"Kalau dia berani, gue yang bakal maju duluan." ucap Laura, cowok seperti Langit banyak dan bisa dia mendapatkannya dengan mudah. Tetapi sahabat seperti Embun, seperti sejuta banding satu. Itulah yang membuat Laura mengalah dengan egonya untuk memiliki Langit.

-
-
-

"Embun." pekik Laura dan Fani.

"Eh kalian." kaget Embun ketika membuka pintu ada kedua sahabatnya di sana.

Embun membawa kedua sahabatnya masuk lalu membawakan minuman segar untuk mereka, "Baru pulang?" tanya Embun.

"Iya." jawab Fani lalu dia dan Laura mengapit Embun dan memeluknya.

"Lo udah nggak apa-apa? tanya Fani

"Its oke." jawab Embun.

"Kalau mau nangis, nagis aja. Keluarin semua kesedihan lo." ucap Laura.

Embun tersenyum, "Nangis nggak bikin bokap gue balik, lebih baik gue berdoa buat bokap gue." jawabnya enteng meskipun hatinya sangat sakit menerima kenyataan itu.

"Lo tegar banget sih." ucap Laura mereka kembali memeluk Embun dengan erat.

"Lo tinggal di rumah gue ya." ucap Fani.

"Iya atau lo tinggal di rumah gue aja." timpal Laura.

"Thanks, tapi gue di sini aja." jawab Embun

ekhem

Suara deheman itu membuat mereka semua menoleh ke belakang, di sana ada Langit yang sedari tadi berdiri mendengarkan obrolan mereka sembari bersedekap dada.

"Ngapain lo di sini?" sinis Fani.

"Suka gue dong." jawab Langit lalu dia duduk di sofa single dan mencomot cemilan yang Embun sediakan tadi.

"Kita pulang deh." ucap Laura, dia berdiri dan menarik Fani agar mengikutinya.

"Eh, kok pulang sih." sungut Fani.

"Sana pergi!" usir Langit.

"Sialan lo!" kesal Fani, dia ingin melempar Langit dengan bantal sofa tetapi Laura menahan dan menariknya menjauh.

"Kita balik deh Mbun, bye." ucap Laura kemudian berlalu dengan tergesa-gesa membawa Fani yang menatap Langit tajam.

"Ngapain?" tanya Embun.

"Ngapel tunangan." jawab Langit santai dan Embun hanya bisa menghela nafas panjang.

-
-
-

DAMN'IT FIANCE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang