34 - Hak Asuh Bobby

Start from the beginning
                                    

Dewi menepuk lengan Katrin. "Kalau suka dia nggak papa, Kat. Dia cakep kok, wajar kalau lo naksir."

Katrin berdecak. "Bukan gitu, Wi. Kalau gue ternyata naksir dia, itu tambah gawat. Gue ngerasa kayak baru dicampakkin tau, nggak? Abis dicampakkin Reihan, masa dicampakkin Garvin juga?"

"Lo tuntut penjelasan dong ke Garvin."

"Nggak mau. Semua udah clear. Garvin emang males sama gue. Nggak mau kenal sama gue lagi. Yaudah gue tinggal say bye."

"Dasar. Yaudah deh, terserah lo, Kat. Kalau lo mampu nge-cancel dia dari hidup lo, itu bagus. Cari cowok lain. Tapi kalau lo nggak mampu, gue berdoa semoga lo dikasih kekuatan hati untuk menghadapi Garvin setiap hari. Kita satu kelas soalnya. Ketemu terus."

Giliran Katrin yang menghela napas panjang. Dia juga berharap ketika melihat wajah Garvin dia nggak mendadak pengin ngamuk atau parahnya meneteskan air mata. Pagi tadi sih sebenarnya mereka bertemu di kelas, tapi Katrin sengaja nggak menoleh ke cowok itu sama sekali. Dia belum siap melihat wajah Garvin setelah perseteruan kemarin.

"Jadi kapan lo mau ambil Bobby dari Garvin?" tanya Dewi.

"Gue belum ngomong ke dia. Kayaknya pulang sekolah ini mau nggak mau gue harus samperin dia."

"Jadi lo bakal ke rumah Garvin lagi dong ngambil Bobby?"

Katrin mengangguk. "Tapi nggak bareng dia, nggak berduaan di mobilnya. Gue ajak Willy, ntar gue nebeng sama Willy aja."

"Oh, oke. Tapi soal Bobby, lo yakin Garvin nggak keberatan kalau lo ambil lagi si kucing itu? Bukannya lo bilang Garvin sukarela mau ngasuh Bobby?" tanya Dewi.

"Hm, dia sendiri emang yang bilang mau ngasuh Bobby, sih. Tapi nggak ada yang tau dia terpaksa atau enggak, soalnya waktu itu awalnya gue yang minta tolong dia, memohon dan memelas agar mau rawat Bobby."

"Oke deh, liat aja reaksinya bagaimana. Tapi kalau Garvin nggak mau pisah sama kucing lo itu, mendingnya tetap dititipin aja ke Garvin, Kat. Kasian juga sama Bobby kalau harus nyesuain diri di tempat Willy. Mana katanya Willy punya kucing lain juga, kan. Bobby nanti malah berantem."

Katrin manggut-manggut mencoba memahami situasinya nanti. Ya, semoga saja nggak ada drama lagi. Dia nggak mau perkara mengasuh Bobby jadi serumit perkara memperebutkan hak asuh anak. Banyakin kerjaan aja!

****

Katrin baru saja menyelesaikan tugas kimianya. Guru yang mengajar izin keluar kelas karena ingin ke kamar kecil. Kesempatan itu digunakan Katrin untuk mengirimi pesan ke Garvin.

Katrina : pulang ini gue sama Willy ke rumah lo buat ambil Bobby. Thanks udah jagain kucing gue selama ini, maaf banyak ngerepotin.

Nggak ada salam, nggak ada basa-basi dan nggak ada emot atau stiker gemas. Katrin terlalu malas melakukan itu.

Diam-diam Katrin melirik Garvin yang terpisah beberapa meja darinya. Cowok itu tampak mengeluarkan ponselnya dan melihat layar benda pipih tersebut.

Tepat saat itu, Katrin melihat centang biru di pesan yang dia kirimkan. Garvin sedang membaca pesannya. Katrin mencoba mengamati reaksi cowok itu.

Sekitar satu menit, belum ada balasan. Tapi mata cowok itu tetap terpaku ke layar ponselnya. Di whatsapp pun, status Garvin masih online. Sepertinya cowok itu sedang memikirkan balasan atas pesan Katrin.

Dua menit, tetap nggak ada balasan. Akhirnya Katrin mengirim pesan susulan.

Katrina: sekalian kirimin juga no rekening lo, ya. biar gue tf aja biaya yang lo keluarin buat Bobby selama ini.

Sebenarnya Katrin nggak yakin sih berapa nominalnya. Tapi semoga saja uangnya cukup. Royal Canin lumayan mahal soalnya.

Ketika melirik Garvin kembali, Katrin melihat Garvin meletakan hpnya ke atas meja. Status di whatsappnya pun tidak online lagi. Pesan Katrin dibiarkan terbaca tanpa dibalas. Cowok itu malah kembali sibuk dengan bukunya.

Katrin menghela napas panjang. Berusaha sabar. Cowok itu sengaja mengabaikannya.

Saat bel pulang berbunyi, Katrin buru-buru menyusul Garvin yang dengan langkah lebarnya sudah meninggalkan kelas.

"Garvin, gue sama Willy mau ambil Bobby," kata Katrin seraya memblokade jalan cowok itu.

Garvin memandang Katrin tanpa ekspresi. "Sori gue sibuk, lain kali aja."

Katrin rasanya ingin menahan lengan Garvin, tapi dia urungkan. Dia membiarkan cowok itu berjalan melaluinya tanpa menoleh lagi.

"Jadi jemput Bobby?" tanya Willy yang tiba-tiba sudah di belakang Katrin.

Katrin menghela napas dan menggeleng pelan. "Garvin lagi ada urusan, kayaknya lain kali aja. Ntar gue infoin lo, ya."

"Oh oke deh, gue pulang dulu kalau gitu."

Katrin mengangguk lagi.

Dewi yang dari tadi mengamati, berjalan mendekati Katrin yang tampak pasrah tapi juga marah. "Alasan aja tuh Garvin. Dia pasti nggak mau lo ambil Bobby dari dia," ucap Dewi.

"Nggak bisa gitu dong, kalau dia mau buang gue dari hidupnya, dia harus singkirin Bobby juga. Dia nggak mungkin bisa ngerawat Bobby tanpa keinget gue," balas Katrin dongkol.

Dewi menepuk bahu Katrin. "Itu tandanya dia mau menjauh dari lo, tapi nggak mau membuang kenangan tentang lo."

Katrin mendelik. Otaknya mencoba memproses ucapan sohibnya tersebut. Kenangan apa yang tidak mau dibuang? Bukannya kata Garvin, Katrin nggak punya pengaruh apa-apa dalam hidupnya? Kenangan yang mereka ciptakan pasti hanya kejadian sekali lewat yang nggak membuat cowok itu terbayang-bayang.

"Udah, ah, Kat, pulang yuk! Nggak usah ribet mikirin Bobby. Bobby pasti sekarang lagi nyantai aja. Mama Papanya aja yang ribet kayak pasangan cerai yang rebutan hak asuh anak."

Katrin mencibir. "Lo ngomong suka kayak Bian aja. Emang cocok banget kalian."

Yang terjadi selanjutnya, Dewi sibuk meneror Katrin mengenai percakapan apa saja yang terjadi antara Katrin dan Bian. Dewi berharap dirinya menjadi salah satu topik yang diobrolkan.

Sebagai teman yang baik, Katrin melupakan sejenak keresahannya dan mulai meladeni Dewi.

***

Karena KatrinaWhere stories live. Discover now