15 - Satu Kamar

233 8 0
                                    

***

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.

***

Sesampainya di rumah, Ara merasakan pening di kepalanya. Merasa kecapekan dan banyak pikiran membuat dirinya merasakan pening di kepalanya.

Berjalan dengan pandangan yang mulai kabur membuat Ara terhuyung ke depan hingga dirinya hampir jatuh ke lantai. Semua orang terkejut dan langsung membawanya duduk di sofa bewarna hitam di ruang tengah.

Ara meneguk air putih yang telah dibawakan oleh Samuel. Lalu menatap orang-orang yang tengah mengkhawatirkan keadaannya saat ini.

"Kamu kenapa?" Tanya Karin pada Ara yang masih memijat keningnya.

"Tidak apa-apa ma, cuma pusing aja." Jawab Ara.

"Iya sudah, kamu ajak ke kamar kamu. Biar dia istirahat," kata Karin dengan menyuruh Dimas untuk membawa Ara ke kamarnya.

Dimas mengangguk dan memapah tubuh gadis itu untuk naik ke atas menuju kamarnya.

Aroma maskulin mulai menyeruak kala ia masuk pertama kali ke dalam kamar Dimas. Tertata rapi dan banyak sekali buku medis milik Dimas.

"Kamu istirahat aja, biar aku yang bawa barang-barang kamu dari kamar sebelah." Kata Dimas kemudian ia pergi meninggalkan Ara sendirian di kamarnya.

Ara memandang kamar yang sangat luas baginya. Terdapat kasur dengan ukuran King size serta ada sofa warna hitam, televisi dengan ukuran 50 inchi, dan juga kamar mandi. Benar-benar kamar yang sangat mewah baginya.

Melihat kedatangan Dimas beserta barang-barangnya, Ara langsung mengambil buku diary yang terpampang di atas koper. Ia sangat berharap jika laki-laki itu tidak membaca isi di dalam buku diary nya.

Ara menatap buku diary nya lalu memandang Dimas dengan intens. Seolah-olah ia bertanya apakah dia sudah membaca buku diary nya di kamar sebelah tadi?

"Aku gak baca, Ara, aku tau itu privasi kamu." Kata Dimas yang peka terhadap pandangannya Ara.

"Siapa tau dokter baca diary aku," ujar Ara.

Dimas memicingkan matanya menatap istrinya. Apa dia tidak salah dengar, ketika istrinya sendiri memanggilnya dokter bukan panggilan sayang yang biasanya diucapkan suami istri.

"Kamu manggil aku dokter?" Beo Dimas pada Ara.

"Iya, kenapa? Salah?" Tanya Ara.

"Gak salah, tapi letak tempatnya yang salah."

Ara menggelengkan kepalanya tak paham apa yang ditanyakan oleh Dimas. Kenapa saat dirinya pusing justru dia mengajaknya main teka-teki?

"Apa sih maksud dokter? Gak paham aku," ucap Ara yang tak pernah sedikitpun yang dimaksudkan oleh Dimas. Jelas sekali, kalau Dimas itu mau dipanggil dengan sebutan lain seperti suami istri pada umumnya. Tapi Ara terlalu bodoh dalam hal percintaan, sampai ia tidak memahami maksud dari Dimas, suaminya.

A STORYWo Geschichten leben. Entdecke jetzt