Sugar D 12

5.9K 427 18
                                    

Ginanjar hampir tidak memiliki kesibukan apapun. Karna ia telah memiliki bisnis rumah makan dan pabrik pengolahan ayam, tahu, tempe, dan sayur-sayuran. Itupun dipercayakan kepada orang lain. Dia cuma memantau kinerja para karyawan saja. Laba bersih dari usaha pabrik, dan lima cabang rumah makannya itu pun sekitar 1,5 miliar per bulan. Berleha-leha di rumah tanpa melakukan apapun sangat membosankan, bukan? Demi mengisi waktu luang; Ginanjar biasanya pergi ke pasar atau super market; untuk membeli bahan masakan. Karna bereksperimen dengan masakan adalah salah satu hobi Ginanjar. Tak jarang ia juga menjadikan temuan resep barunya itu sebagai menu baru—yang sampai saat ini masih disimpan dahulu.

Setelah memiliki lima cabang di berbagai belahan Kota Malang. Ginanjar berencana ingin membuka sebuah kafe kekinian khusus untuk anak muda. Itulah mengapa ia giat memasak; membuat resep baru selezat mungkin; untuk dijadikan menu di kafe yang akan ia bangun nanti. Ginanjar mungkin memiliki keterbatasan fisik—yang di mana ia tidak memiliki kaki kiri sejak lahir—pun tuli. Beruntung ia memakai kaki palsu besi, dan alat bantu dengar. Hal itu pun membuat aktivitas sehari-harinya jadi terasa lebih mudah.

Mobil Hyundai Kona berwarna lemon itu pun tiba di Pasar Besar—yang berlokasi di Jl. Pasar Besar, Kel. Sukoharjo, Kec. Klojen, Malang. Bertepatan dengan hari libur di akhir pekan; Ginanjar ingin berbelanja di pasar ini. Ia pun langsung menuju lantai satu dan dua, karna di lantai ini khusus menjual sayur mayur, buah, dan kebutuhan pokok—pun terdapat: baju, tas, elektronik, dan perabot rumah. Sedangkan lantai tiga dan empat terdapat: departement store, tempat bermain anak-anak, dan tempat makan.

Gama menemani Ulfa, sang ibu berbelanja di pasar ini. Karna Pasar Besar terkenal dengan harganya yang murah. Saat Gama berada di penjual sayur mayur; ia mengedarkan pandangannya ke seluruh area pasar di lantai ini. Tiba-tiba sorot matanya tertuju pada beberapa lembar uang yang jatuh ke lantai. Uang itu jatuh tepat di dekat seorang pria—yang mengenakan kaos putih, blazer hitam, dan celana biru pudar. Gama pun berinisiatif menghampiri pria tersebut. “Om,“ seru Gama. Setelah memungut uang itu di lantai.

Pria itu pun menoleh. Dia adalah Ginanjar. “Ini uang om. Tadi jatoh ke lantai,“ ucap Gama sembari memberikan uang lima puluh ribuan itu kepada Ginanjar. “Eh? Makasih banyak ya, dek?“ ucap Ginanjar berterima kasih sambil tersenyum. “Sama-sama om,“ sahut Gama. Gama sempat memperhatikan pria—yang tidak ia ketahui namanya itu. Cara berjalannya terlihat tidak seimbang—pun di telinganya terdapat alat bantu dengar. Jangan-jangan om ini tuli, ya?, batin Gama.

Sandi sudah bersiap-siap ingin jalan keluar dengan stelan baju dan celana warna putih—pun sweater oversize warna hijau. “Om, aku izin mau pulang, ya? Mau mabar nobar sama temen-temen,“ ucap Sandi meminta izin sambil duduk di depan pintu memasang sepatu. “Pulang? Kenapa nggak mabar nobar sama om aja? Om juga jago main game,“ sahut Frederick posesif—pun menghampiri Sandi di depan pintu. “Kan aku maunya sama temen-temen? Bukan sama om?“ ucap Sandi sarkasme. Entah mengapa Frederick tidak rela jika Sandi pulang sendirian. Kalau ada orang ganggu dia ampe ngegoda dia gimana?, batin Frederick.

“Om?“ seru Sandi menghembuskan nafas berat. Frederick pun tersadar dari lamunannya. “Bareng sama om aja. Tunggu dulu,“ ucap Frederick. Ia ke dalam sebentar mengambil dompet dan kunci mobil. Saat Sandi bersiap ingin keluar dari apartemen. Frederick pun mencegat lengannya. “Om cium kamu dulu. Baru kamu boleh ngumpul sama temen-temen kamu,“ ucap Frederick ambigu. “Hah?“ gumam Sandi mengerutkan dahi; tanda tidak mengerti akan perkataan Frederick barusan. Frederick pun mencium leher Sandi, dan menghisapnya kuat-kuat hingga berbekas.

“Mhh,“ gumam Sandi. Setelah itu ia menatap Frederick dengan tatapan bingung sekaligus heran. “Cepetan~ Jadi keluar nggak?“ ucap Frederick membuyarkan lamunan Sandi. Berjalan menuju lift hingga ke basement saja; Frederick terus menggenggam tangan Sandi seolah bisa lepas kapan saja. “Nanti kamu mau pulang lagi ke tempat om jam berapa?“ tanya Frederick sesaat setelah ia duduk di kursi kemudi. “Sore paling, intinya seharian,“ sahut Sandi sambil main hp. “Seharian? Lama banget? Mau mabar ato apa sih, San?“ ucap Frederick terdengar tidak suka.

Sugar D [BL]Where stories live. Discover now