Sugar D 71

2.3K 107 29
                                    

Sejenak ia pun diam terpaku menikmati riuhnya suara lalu-lalang para pengelana ilmu. Di tepi koridor yang dihiasi rerumputan serta berbagai jenis tanaman—pun terdapat beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang saling bercengkerama satu sama lain. Di bibir mereka nampak lengkungan kebahagiaan. Benarkah? Bukankah pendidikan di bangku kuliah bak neraka dunia? Dari sisi manakah mereka berbahagia atas peliknya tugas kuliah yang menumpuk?

Satu tarikan nafas nan dalam menandakan ia yang hatinya berdecih; mengatai apa yang dilihatnya ialah dusta belaka. Di sudut lain pun ia melihat ada yang tidur di meja dengan pakaian urak-urakan, ada yang asyik berkutat dengan setumpuk buku pelajaran tanpa menghiraukan orang yang ada di sekelilingnya, dan ada sekelompok perempuan yang asyik berdandan ria; memamerkan peralatan make up yang dimilikinya. Sandi mengernyitkan alis seraya bertanya-tanya dalam hatinya, mengapa mereka memoles wajah mereka dengan make up setebal akan di langit, bahkan menutupi mentari yang membiaskan cahayanya di bumi? Toh tidak mengubah apapun, kan?

”Huft, cewek-cewek, namanya juga cewek,” batinnya.

Sandi memeriksa ponselnya sejenak setelah mendapat notifikasi chat dari Frederick. Sebuah foto yang terpampang dalam chat tersebut pun berhasil membuat bibirnya melengkung tipis. Frederick sedang dalam suasana rapat rupanya. Sandi mendadak tersipu; melihat sosoknya yang berstelan jas pun nampak sangat gagah. Lupa jika dirinya berada di tengah-tengah keramaian—pun akhirnya menabrak seseorang. ”Eh, ma-maaf, kak!” Sandi otomatis meminta maaf, karna merasa tak enak hati seraya membantu seorang wanita yang berambut lurus sebahu tuk merapiplkan barang-barangnya yang terjatuh.

”Ga usah ga papa, kok. Gue bisa sendiri,” ucapnya ketus.

Uh, ucapan macam apa itu, hah? Bukankah dia berbicara seolah-olah terdengar seperti sedang menyimpan kekesalan di balik wajah cantiknya? ”Uhm, maaf, kak. Aku nggak sengaja,” Sandi mencoba mengucapkan kata maaf beberapa kali, tetapi sama sekali tak digubris olehnya. Sandi tak ingin mendengar bagaimana wanita itu melarangnya tuk membantu dan memilih tuk tetap membantunya. Pada awalnya wanita itu ingin meluapkan amarahnya kepada Sandi, namun tiba-tiba sirnalah amarahnya ketika melihat wajah tampannya.

Dua belah pipi wanita itu merona ketika melihat sosok pemuda yang mengenakan kaos putih dilapisi jaket levis berwarna biru pudar berparas tampan tepat di hadapannya. Sikap wanita itupun berubah layaknya bunglon yang sedang berkamuflase. Dia yang tadinya ketus mendadak menjadi selembut kapas. Hm, dasar bunglon! Seorang pria membatin ketika ia tak sengaja lewat dan melihat temannya itu tengah berkamuflase. Sandi kembali mengutarakan maafnya.

”Santai aja nggak papa, kok,” ucapnya seraya tersenyum manis.

Sandi dan wanita yang belum ia ketahui namanya pun berdiri.

”Uhm, btw nama lu siapa? Gue Jessica,” ucapnya memperkenalkan diri.

”Gue Sandi,” sahutnya.

”Btw lu prodi mana?” tanyanya mencoba tuk berbasa-basi.

”Bisnis,” Sandi menjawab pertanyaannya sesingpat mungkin.

Jessica mendadak canggung ketika tidak mendapatkan balasan yang diharapkan dari pertanyaannya. Hmph! Dasar cowok sombong! Jessica dongkol ketika menghadapi pemuda cuek yang baru pertama kali ditemuinya hari ini. Hmph! Hampir saja ia kembali menampakkan sifat aslinya seperti tadi. Tidak! Jessica tidak ingin melakukan kesalahan!

Sudut bibirnya pun melengkung manis semani delima yang baru dipetik. Sandi mengakui betapa legitnya senyuman yang terpancar dari sosok Jessica. Seandainya ia mampu menyukai panita—pun mungkin ia akan jatuh cinta kepadanya. Jessica merasa dunia seakan-akan seperti milik berdua. Lalu-lalang orang yang lewat pun bagai pion-pion yang menghiasi jalanan.

Sugar D [BL]Where stories live. Discover now