Sugar D 44

2.2K 248 109
                                    

NOTE: KALO CERITA INI ANEH DAN GAK SESUAI EKSPEKTASI LU. SKIP AJA DARIPADA KOMEN ANEH. GUE DAH NERIMA KOMENAN YG NGERASA GAK SEJALAN AMA INI CERITA. INGET! INI TUH FIKSI! IMAJINASI!

Ghifari dan Nino menghadiri sebuah acara festival tahunan di Jl. Simpang Balapan. Sebagai tamu penting; mereka disambut oleh sebuah tarian, yaitu Tari Topeng Malangan. Seluruh para penari mengenakan topeng dengan berbagai macam karakter. Selain itu; mereka juga mengenakan sampur, selendang, mahkota, dan anting. Sampur merupakan kain sempit dan panjang—yang diletakkan di pundak sedangkan selendang diikatkan pada bagian perut penari. Tarian ini juga terbagi dalam beberapa sesi. Sesi pertama adalah gendang giro. Sesi kedua adalah salam pembuka. Sesi ketiga adalah sesajen.

Ghifari terlihat sangat jauh berbeda. Di luar tuntutan pekerjaan; ia terlihat sangat dingin, dan kurang bersahabat, tetapi di sini; ia terlihat begitu sangat hangat. Pino sampai tertegun. Ghifari juga sempat membisikkan sesuatu. Dia berbicara soal pendapat ia tentang tarian tersebut. “Bener. Bagus banget, pak, tapi penari yang satu itu kurang gesit ato gimana gitu. Keliatan masih kaku,“ ucap Nino juga ikut berkomentar. Ghifari juga begitu antusias. Pertunjukan seperti sebuah tarian memang adalah favorit ia—pun sesuatu berbau sejarah masa lampau.

Eliza juga sedang menonton pertunjukan bersama teman-teman ia: Carissa dan Deandra. Berhubung sanggar tari sedang sepi job; ia pun mengisi hari-hari dengan membantu usaha sang ibunda—pun menonton pertunjukan seperti ini secara langsung. Tampang ia berubah masam seketika. Saat ia melihat Ghifari di depan sana. Dia terlihat sedang haha dan hihi tanpa rasa bersalah. Eliza geram. Seluruh mata pencaharian ia dan teman-teman harus hilang. Tentu saja di sini Eliza lah yang disalahkan kecuali Carissa dan Deandra. Lenita? Hm, dia udah lama nggak ada kabar, batin Eliza.

Sesaat sebelum Ghifari masuk ke dalam mobil. Ia pun mengerling sebentar. Di sana; Eliza berdiri. Dia tengah menatap Ghifari dengan tatapan penuh rasa benci. Dua netra ia berapi-api. Nino pun mengikuti ke mana arah netra itu berpendar. Siapa dia?, batin Nino. Jangan bilang jikalau perempuan itu adalah tambatan hati Ghifari? Nino mencoba menelisik lebih dalam lagi. Se-marah apapun seseorang pada orang yang ia cintai, maka tiada benci serta caci pada mata-mata cinta. Binar bahagia saat ingin saling memiliki juga tiada.

“Pak,“ gumam Nino. Nino pun menyentuh surai rambut Ghifari demi menyingkirkan sesuatu. Padahal tiada apapun di sana. Ghifari tertegun. “Dia siapa?“ tanya Nino begitu saja—pun terdengar sedikit posesif tanpa ia sadari. Hm, rupanya Nino cuma berbohong saja soal ada sesuatu di rambut Ghifari melainkan agar ia bisa bertanya lebih dekat lagi. “Hm?“ gumam Ghifari. “Cewek di sana, pak,“ ucap Nino terdengar tidak begitu menyukai Eliza. “Lupa? Dia Eliza,“ sahut Ghifari. Eliza? Bagaimana bisa aku lupa?, batin Nino. Nino pertama kali berjumpa Eliza ialah pada saat acara lamaran ia dan Ihsan beberapa waktu lalu.

“Tunggu,“ gumam Nino.

Nino sengaja menahan pintu mobil itu. Ia memandang sang pelita dalam-dalam. “Bareng saya aja, pak,“ ucap Nino. Sebuah benang merah telah terikat di jari masing-masing, dan saling terhubung. Sebuah takdir cinta pun telah dimulai antara Nino dan Ghifari. Ghifari malas jikalau ia harus adu mulut—atau saling dorong mendorong sehingga ia pun menerima permintaan Nino begitu saja. Ia meminta sang sekretaris duluan saja sedangkan ia akan pergi bersama Nino.

Pino mungkin akan berbuat sedikit lancang pada Ghifari, tetapi entah mengapa; ia ingin sekali memanas-manasi Eliza. Siapa tau ngaruh? Hahahaha, batin Pino. Pino pun melingkarkan tangan ia di pinggul Ghifari—pun membuat Ghifari terkesiap. Ghifari langsung memelototi Pino. “Bentar doang, pak, ampe masuk mobil saya di depan,“ ucap Pino bernada pelan. Di mata para pembenci; bahagia oleh yang dibenci itu sudah seperti bumerang dan bisa saja. Dia seperti tersulut oleh api. Eliza memicingkan mata. Pino sengaja membuka pintu mobil lebar-lebar untuk Ghifari. Sehingga saat Ghifari telah duduk di samping kursi kemudi; Pino pun mendekatkan wajah ia sembari berbicara sebentar. Bodohnya lagi. Ghifari malah mendongakkan kepala; memandangi Pino.

Sugar D [BL]Where stories live. Discover now