Sugar D 34

3K 291 113
                                    

NOTE: GUE JUJUR HAMPIR MAU NANGIS NULIS PART JIDDAN. GUE KASIAN AMA NIH ANAK.

Berucap ia pada angin membisu. Pada langit biru, terang benderang oleh mentari. Hati dipenuhi oleh debu, mengepul asap hitam tiada henti—pun memenuhi sanubari. Patah. Itu adalah dia saat ini. “Nak Ghifari? Hari ini Eliza tunangan sekaligus lamaran. Dateng, ya?“ ucap Sutina tadi malam di telepon. Sutina berucap seolah tanpa rasa bersalah. Dia berdalih tidak enak hati, tetapi siapa tau di dalam hati terniat dia tuk memanas-manasi? Cuih! Ghifari menambah laju mobil ia persis seperti seorang pebalap profesional. Ghifari tercengang; melihat satu unit mobil hitam menyalip mobil ia—pun dengan kecepatan sangat tinggi; mengalahkan kecepatan ia saat ini. “Dasar bocil,“ gumam Ghifari.

Dia turun dari mobil bagai sinar mentari di siang hari; membuat mata silau dan buram oleh ia bertabur berlian. Sepatu dia dior loaver senilai 8,5jt. Jam tangan dia tag heuer aquaracer professional 300 senilai 73jt. Kacamata dia dior glasses stellaire senilai 4,3jt. Dia juga telah mempersiapkan hadiah seperti: tas christian dior senilai 43jt dan flat shoes christian dior j'adior embroidered cotton with stripes motif ballerina senilai 10,9jt untuk Eliza. Semua mata tertuju pada ia. Ghifari; dia berpenampilan casual, tetapi terlihat sangat berkelas—pun ditemani oleh Nino.

Orang penting seperti Ghifari, tentu saja mendapat tempat paling depan. Calon suami Eliza sampai panas dingin melihat hadiah—yang diberikan oleh Ghifari pada Eliza. Tulisan Dior di paper bag itu sangatlah besar dan jelas. “Duh, nggak usah repot-repot, nak,“ ucap Sutina. “Haha nggak papa, bu,“ sahut Ghifari. Eliza berubah pias. Nino tersenyum samar. Ghifari ini lucu juga, ya? Dia pinter banget nyindir orang dengan gaya, batin Nino. Calon suami Eliza bernama Ihsan. Dengar-dengar dia adalah salah satu guru di sebuah pesantren. Pantas saja Eliza menerima Ihsan tanpa banyak pertimbangan.

Ihsan adalah seorang guru dengan gaji tiga juta-an saja per bulan. Sangat jauh dibandingkan dengan Ghifari—yang seorang pengusaha dengan pendapatan miliaran hingga puluhan miliar itu. Hadiah senilai puluhan juta itu; Ihsan mana mampu membeli dan memberi. Gaji satu tahun—pun tidak akan cukup, tetapi di sisi lain ia bersyukur; Eliza mau menerima diri ia apa adanya. Eliza terlihat sangat cantik dalam balutan hijab serba putih—pun make-up sederhana. Dia begitu bersinar di mata Ihsan bagai bidadari surga.

Ghifari berdecih kala melihat bagaimana Ihsan memandang Eliza penuh cinta. Benar-benar terlihat sangat tulus. Emosi dalam diri Ghifari beriak. Bahagia dia adalah luka bagi Ghifari. Nino sadar akan hal itu. Sehingga ia pun mengulurkan tangan menyentuh bahu Ghifari seolah sedang memberi tau, “Sabar.. Tahan diri..,“. Sebagian dari tamu undangan seolah berharap ingin disapa oleh Ghifari—pun cuma dengan sebuah senyuman saja tidak apa-apa, tetapi Ghifari acuh. Orang-orang mungkin kan berpikir dia sombong. Terserah. Ghifari tidak perduli.

Selesai acara; Ihsan berniat ingin mengucapkan terima kasih kepada Ghifari. Sutina, Ibu Eliza juga telah bercerita banyak tentang siapa seorang Ghifari. Dia memang bukan orang biasa—pun aura dia terasa sangat berbeda dari semua orang yang ada di sini. “Pak Ghifari?“ seru Ihsan, pria bergamis serta berpeci putih itu. Sangat agamis sekali, ya? Ghifari menatap Ihsan datar tanpa ekspresi apapun. Ihsan pun mengulurkan tangan ingin berjabat tangan. “Terima kasih udah dateng ke acara lamaran aku sama Eliza. Trus, terima kasih juga sama hadiahnya,“ ucap Ihsan. Cuih! Munafik!, batin Ghifari merasa jijik.

Ghifari masih sempurna dengan memiliki dua bola mata—pun tidak ada cacat sedikitpun pada indera penglihatan ia. Ghifari tau; Ihsan tidak benar-benar tulus dalam mengucapkan terima kasih itu pada dirinya. Sorot mata dia tidak bisa berdusta. Limbah amarah tertahan dan menumpuk di sana, membentuk sebuah bom—yang bisa meledak kapan saja. Ghifari tidak sudi mengulurkan tangan ia jua pada orang munafik seperti Ihsan. Ia pun tersenyum miring. Ihsan tersenyum kecut, lalu menarik tangan ia kembali. “Ihsan, aku bisa aja terima jabat tangan kamu itu dengan lapang dada, tapi kamu tau kenapa aku nggak mau?“ tanya Ghifari. Ihsan diam termangu. “Karna kamu munafik.“ ucap Ghifari lagi dingin.

Sugar D [BL]Where stories live. Discover now