Sugar D 70

2.1K 135 16
                                    

*SORRY GUE HIATUS LAMA BEUT*

***

Potret tentangnya takkan pernah cukup pabila dilukiskan dengan tinta—yang banyaknya sebanyak air di samudera sekalipun. Dia sulit dimengerti bagaikan potongan puzzle yang acak. Dia memiliki susunan nan rumit seakan-akan tak sembarang orang dapat menyatukan bagian-bagian puzzle itu seperti semula. Dia membawa kebencian di hati pembenci, tetapi sebagai seorang pembenci rasanya tuk mundur barang selangkah pun tak mampu. Dia pun bahkan rela menanggalkan pekerjaannya demi merawat dirinya yang tengah terbaring sakit.

Sigit gemas tatkala cintanya malah menutup mulutnya dengan satu tangannya lantaran menolak minum obat. Jiddan berkata bahwa sampai mati pun ia tak ingin minum obat—yang rasanya pun, bahkan lebih pahit dari buah mengkudu. “Buah mengkudu? Emang kamu pernah nyobain buah mengkudu?“ tanyanya. Jiddan menatapnya dalam diam tanpa kata. Itu artinya Jiddan sama sekali belum pernah mencobanya. Sigit tak kehilangan akal. Sejurus kemudian ia pun meraih lehernya dan mentransfer obat dari mulut ke mulut. Sigit berusaha menekan lidahnya ke dalam agar Jiddan dapat menelan obatnya dalam-dalam.

Tatapan sendu ia ketika sedang terbaring sakit rasanya begitu mengiris hati. Tak kuasa jika raga ini membiarkannya sendiri—pun rela menanggalkan pekerjaannya di pantor satu dua hari demi dia yang dicintai. Tak mengapa, sebab dia yang di samping pini ialah prioritas sejati. Tak mengapa, rehat sejenak dari hiruk-pikuk dunia perkantoran yang menguras energi, meski ketulusannya mungkin berbalas benci. Sigit tak ingin memikirkan segala kemungkinan terburuk, sebab melakukan yang terbaik tuk menjaganya menjadi prioritasnya saat ini.

“Om mau ke mana?“ tanyanya tiba-tiba dengan suara lemah.

“Om mau keluar bentar buang sampah,“ sahut Sigit.

Di kala sedang sakit, entah mengapa rasanya ia mendadak menjadi anak kecil—yang ketakutan ditinggal seorang diri di rumah, kalau hanya sebentar. Sigit yang telah berdiri di depan pintu pun menoleh. Jiddan menatapnya penuh harap. Sigit terenyuh oleh tatapannya itu sehingga ia pun menghampirinya, dan bertanya kenapa? Jiddan nampak gengsi tuk mengatakan yang sebenarnya. “Huft.. Harus banget gitu? Gue jujur?“ batinnya. Jiddan diam membisu. Sigit yang melihatnya pun gemas hingga ia pun menghela nafas. “Kenapa, sayang? Hm?“ tanya Sigit. Jiddan termangu setelah mendengar kata-katanya yang terdengar sangat tulus dan lembut.

“Errr..,“ gumam Jiddan.

Lalu, ke manakah perginya kebencian di hati—yang membuncah bagaikan air yang mendidih ketika dipanaskan? Saat ini yang ia rasakan hanyalah rasa takut akan ditinggalkan. Sungguh! Selangkah saja melihatnya ingin beranjak dari apartemen ini rasanya seakan-akan dirinya kan pergi menjauh entah ke mana.  Padahal kedua telinganya pun mendengar dengan jelas, dia berkata bahwa ingin keluar sebentar untuk membuang sampah. Jiddan merasa jikalau dirinya benar-benar akan gila.

“Uhm, a-aku mau ikut ke bawah,“ ucapnya pada akhirnya.

Sigit menghela nafas.

“Kamu lagi sakit.. Biar om keluar sendiri aja. Cuma bentar aja, kok,“ sahut Sigit.

Jiddan pun menatapnya tepat di kedua matanya.

“A-aku takut sendirian, om,“ cicitnya merasa sangat malu tuk mengakui perasaannya.

Sigit tap menemukan sedikit pun dusta di sana di kedua matanya. Dia yang menatap dalam-dalam penuh harap—pun membuatnya terenyuh. Sigit menghangat hatinya. “Pegang tangan om kalo kamu ngerasa pusing ato apapun itu,“ ucapnya. Sigit mau tidak mau mengiyakan permintaannya. Sigit mana kuat melihat tatapannya yang sebening berlian? Sungguh kemurniannya membuatnya takjub. Jiddan tak mengucap sepatah kata pun setelahnya, bahkan keduanya saling diam selama berada di luar apartemen. Tepat ketika keduanya masuk ke dalam lift; Jiddan refleks memegang tangan kiri Sigit hingga membuat empunya menoleh seketika.

Sugar D [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang